REPUBLIKA.CO.ID, LHEIBAN -- Saat eskavator menggali tanah untuk membangun parit, tentara Irak memindai lahan pertanian yang luas untuk mencari milisi ISIS. Tidak jauh dari tempat itu, Kurdi melakukan hal sama.
Adegan awal bulan ini di desa pertanian kecil Irak utara Lheiban adalah contoh langka koordinasi antara pemerintah federal dan wilayah semi-otonom Kurdi. Kedua belah pihak memperkuat posisi bersama yang bertujuan mempertahankan desa dari serangan kelompok ISIS.
Meskipun sengketa teritorial sudah berlangsung lama, Baghdad dan Kurdi Irak mengambil langkah-langkah untuk bekerja sama untuk mencegah kebangkitan kelompok ISIS. Pada 2009-2014, pasukan Irak dan Kurdi telah melakukan keamanan bersama di provinsi utara Ninevah, Kirkuk, dan Diyala. Hanya saja runtuhnya tentara Irak selama serangan ISIS pada 2014 mengakhiri pengaturan tersebut.
Otoritas Kurdi berhasil memperkuat kendali atas Kirkuk dan wilayah sengketa lainnya selama ini. Bahkan mengembangkan ladang minyak dan melakukan kebijakan ekspor independen yang membuat marah pemerintah federal.
Setelah Irak menyatakan kemenangan atas ISIS pada 2017, Baghdad mengalihkan pandangannya ke daerah-daerah ini, meluncurkan operasi militer pada Oktober 2017 untuk merebut kembali. Hubungan memburuk, dengan Baghdad memotong semua anggaran ke wilayah Kurdi, membuatnya tidak mampu membayar pekerja sektor publik dan utang kepada perusahaan minyak.
Kedua belah pihak mengatakan koalisi keamanan yang kembali hidup ini membutuhkan mediasi Amerika Serikat (AS) untuk membantu menjaganya tetap bersama. Irak dan Kurdi mengatakan itu adalah salah satu alasan mengapa kehadiran militer AS di negara itu tidak akan hilang. Bahkan ketika misi AS secara resmi berakhir pada 31 Desember.
"Mereka memainkan peran penting, berkoordinasi dengan kami dan pihak Irak. Tanpa mereka, kami tidak akan berbicara mereka tidak akan datang ke sini, dan kami tidak akan pergi ke sana," ujar peshmerga atau angkatan bersenjata Kurdi yang berbasis di Qarachok, Kolonel Kahar Jawhar.