REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Sembilan belas orang dari kelompok etnis Muslim Uighur pada Selasa (4/1), mengajukan tuntutan pidana terhadap pejabat China. Tuntutan yang diajukan kepada jaksa Turki itu, menuduh Pemerintah China melakukan genosida, penyiksaan, pemerkosaan, dan kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Uighur di Xinjiang.
Pengacara Gulden Sonmez mengatakan, pengajuan tuntutan itu sangat diperlukan karena badan-badan internasional tidak bertindak melawan otoritas China. Tuntutan tersebut diajukan ke Kantor Kepala Kejaksaan Istanbul.
Sekitar 50 ribu orang Uighur diyakini tinggal di Turki. Ini merupakan diaspora Uighur terbesar di luar Asia Tengah. “Pengadilan pidana internasional seharusnya sudah memulai persidangan ini, tetapi China adalah anggota Dewan Keamanan (PBB), dan tampaknya tidak mungkin terlibat dalam dinamika ini,” kata Sonmez.
Ketika mengajukan tuntutan, terdapat lebih dari 50 orang Uighur berkumpul sambil memegang foto anggota keluarga yang hilang. Mereka juga membuat papan dengan tulisan yang menyerukan penuntutan pejabat China.
Beberapa orang mengibarkan bendera biru-putih yang merupakan simbol dari gerakan kemerdekaan Turkestan Timur. China menilai gerakan tersebut mengancam stabilitas wilayah Xinjiang.
Pengajuan tuntutan menargetkan 112 orang, termasuk anggota Partai Komunis Cina, direktur dan petugas di kamp kerja paksa. China telah dituduh memfasilitasi kerja paksa dengan menahan sekitar satu juta orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp penahanan sejak 2016.
China awalnya menyangkal keberadaan kamp tersebut. Namun pada akhirnya Cina mengatakan bahwa, kamp tersebut adalah pusat kejuruan dan dirancang untuk memerangi ekstremisme.
“Undang-undang Turki mengakui yurisdiksi universal. Penyiksaan, genosida, pemerkosaan (dan) kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut di pengadilan Turki dan penjahat dapat diadili,” kata Sonmez.