REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) telah menyetujui pembebasan lima tahanan dari fasilitas militer di Teluk Guantanamo. Tiga dari lima tahanan berasal dari Yaman, satu tahanan dari Somalia, dan satu tahanan lainnya dari Kenya.
Menurut dokumen Departemen Pertahanan AS, secara kolektif lima tahanan tersebut telah menghabiskan 85 tahun di penjara Guantanamo. Dari total 39 tahanan yang saat ini ditahan Guantanamo, 18 tahanan akan dibebaskan setelah peninjauan kasus pada November dan Desember. Sebanyakb 18 tahanan ini tidak didakwa melakukan kejahatan.
Lima orang yang disetujui untuk dibebaskan adalah Guleed Hassan Ahmed atau juga disebut Guled Hassan Duran dari Somalia dan Mohammed Abdul Malik Bajabu dari Kenya. Sementara tiga tahanan lainnya berasal dari Yaman yaitu Omar Muhammad Ali al-Rammah, Moath Hamza al-Alwi, dan Suhayl al-Sharabi. Dewan Peninjau Berkala Pentagon mengatakan kelima pria itu tidak lagi dianggap sebagai ancaman bagi AS.
Namun, kelima tahanan itu tidak langsung meninggalkan penjara. Washington sedang berupaya untuk membuat pengaturan dengan negara asal tahanan, atau negara lain, untuk menerima mereka. Saat ini, AS tidak akan memulangkan warga Yaman karena perang saudara di negara tersebut, atau warga Somalia, yang negaranya juga sedang mengalami konflik.
Persetujuan pembebasan lima tahanan tersebut menunjukkan upaya percepatan oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk menyelesaikan kasus dan hukuman dari 39 tahanan Guantanamo yang tersisa. Pembebasan tahanan juga menandai peringatan 20 tahun pembukaan penjara Guantanamo.
Human Rights Watch melaporkan dari 39 tahanan di penjara Guantanamo, sebanyak 27 tahanan belum didakwa melakukan kejahatan. Senator AS Dianne Feinstein menyebut para tahanan yang menghadapi persidangan, termasuk dalang insiden 11 September Khalid Sheikh Mohammed, dapat diadili di pengadilan sipil AS.
“Sekarang perang AS di Afghanistan telah berakhir, saatnya untuk menutup pintu di Guantanamo untuk selamanya,” kata Feinstein. Beberapa orang yang masih ditahan di penjara Guantanamo memiliki masalah kesehatan mental sehingga membuatnya sulit untuk mengajukan pembebasan atau mengatur kehidupan mereka di masa depan.
Seorang tahanan, Khalid Ahmed Qasim, yang kasusnya ditinjau pada Desember lalu, telah ditolak pembebasannya meskipun otoritas Pentagon mengakui dia bukan orang penting dalam kelompok Alqaeda atau Taliban dan tidak menimbulkan ancaman yang signifikan. Namun otoritas Pentagon mengindikasikan Qasim sering kali tidak mematuhi petugas di penjara dan tidak memiliki rencana untuk masa depannya jika dia dibebaskan.
"Dewan mendorong tahanan untuk menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dan manajemen emosinya yang lebih baik," ujar pernyataan Dewan Peninjau Berkala Pentagon dilansir Aljazirah, Kamis (13/1/2022).
Otoritas Pentagon juga meminta pengacara Qasim untuk membuat rencana mengenai bagaimana kondisi kesehatan mentalnya jika dia dipindahkan dari Guantanamo. Menurut Human Rights Watch, dalam 20 tahun sejak Guantanamo dibuka, AS telah menghabiskan biaya operasional lebih dari 540 juta dolar AS per tahun.