REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sri Lanka telah memblokir akses warga ke berbagai platform media sosial. Langkah itu diambil setelah pemerintahan di sana menerapkan keadaan darurat dan jam malam pascagelombang demonstrasi menentang kenaikan harga serta pemadaman listrik bergilir.
"Pemblokiran media sosial bersifat sementara dan diberlakukan karena instruksi khusus yang diberikan oleh Kementerian Pertahanan. Ini diberlakukan demi kepentingan negara dan rakyat untuk menjaga ketenangan," kata Ketua Komisi Regulasi Telekomunikasi Sri Lanka Jayantha de Silva kepada Reuters, Ahad (3/4/2022).
Organisasi pemantau internet, NetBlocks, mengungkapkan data jaringan real time menunjukkan Sri Lanka telah melakukan "pemadaman" media sosial secara nasional. Pemerintah membatasi warga mengakses Twitter, Facebook, WhatsApp, Youtube, dan Instagram.
Menteri Pemuda dan Olahraga Sri Lanka Namal Rajapaksa mengatakan dia tidak akan pernah memaafkan pemblokiran media sosial. "Ketersediaan VPN, seperti yang saya gunakan sekarang, membuat larangan seperti itu sama sekali tidak berguna. Saya mendesak pihak berwenang untuk berpikir lebih progresif dan mempertimbangkan kembali keputusan ini," ucapnya.
Namal Rajapaksa adalah keponakan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa. Pada Jumat (1/4/2022) lalu, pemerintahan Gotabaya mengumumkan keadaan darurat. Hal itu seketika memperkuat kekhawatiran pemberangusan gerakan protes kenaikan harga, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), dan pemadaman listrik bergilir yang digulirkan rakyat.
Gotabaya mengatakan penerapan keadaan darurat diperlukan untuk melindungi ketertiban umum dan layanan penting. Pada Kamis (31/3/2022), ratusan pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan aparat polisi dan militer di luar kediaman Gotabaya. Mereka menyerukan agar sang presiden mundur dari jabatannya.