Kamis 21 Apr 2022 03:25 WIB

Warga Palestina Selalu Jadi Korban Kekerasan Israel di Bulan Suci

Yerusalem telah menjadi tempat konflik dan kekerasan antara Palestina dan Israel.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Agung Sasongko
Polisi Israel dikerahkan di Kota Tua Yerusalem, Minggu, 17 April 2022. Polisi Israel bentrok dengan warga Palestina di luar Masjid Al-Aqsha setelah polisi membersihkan warga Palestina dari kompleks yang luas untuk memfasilitasi kunjungan rutin orang Yahudi ke tempat suci dan menuduh warga Palestina.
Foto:

Raja Yordania Abdullah mengatakan bahwa tindakan sepihak Israel di masjid Al Aqsa, Yerusalem merusak prospek perdamaian di wilayah tersebut, Senin (18/4).
 
Berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, raja mengatakan bahwa tindakan provokatif Israel di kompleks masjid melanggar status quo hukum dan sejarah tempat suci umat Islam. Monarki Hashemite Raja Abdullah telah menjadi penjaga situs-situs tersebut sejak 1924, membayar pemeliharaan dan restorasi mereka.
 
Serangan Israel dimulai
 
Serangan dimulai pada tahun 1967, segera setelah Yordania mulai melayani sebagai penjaga situs. Pada tahun yang sama, Jenderal Mordechai Gur, wakil menteri pertahanan Israel, merebut Bukit Bait Suci Yerusalem untuk Israel. 
 
Pada hari ketiga perang 1967, Gur mengibarkan bendera Israel dari Kubah Batu, membakar salinan Al qur'an dan melarang jamaah shalat di masjid. Pada tahun 2000, pasukan keamanan Israel membunuh dan melukai puluhan jamaah di Masjid Al Aqsa setelah Ariel Sharon, seorang jenderal Israel yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel ke-11 dari Maret 2001 hingga April 2006, menyerbu Masjid Al Aqsa disertai dengan kehadiran keamanan yang ketat. 
 
Ini memicu Intifada (pemberontakan) kedua, pemberontakan selama lima tahun yang menewaskan ribuan orang Palestina. Setelah Intifada kedua, Israel mencabut otoritas eksklusif Wakaf untuk mengatur akses jamaah muslim dan pengunjung non muslim.
 
Sejak itu, serangan Israel dimulai setiap hari dalam bentuk tur yang dilindungi oleh polisi. Pada 2017, warga Palestina mengadakan Hari Kemarahan di luar masjid ketika mereka dilarang salat di dalam untuk kedua kalinya. 
 
Sedikitnya empat orang tewas dalam bentrokan tersebut. Pada tahun yang sama, Israel melepaskan detektor logam dari gerbang masjid setelah kemarahan dari umat Islam di seluruh dunia terhadap bentrokan itu. Namun, kamera CCTV tetap berada di kompleks, melanggar status quo. 
 
Palestina mengatakan serangan Israel dimaksudkan untuk membagi masjid antara Muslim dan Yahudi, mirip dengan pembagian Masjid Ibrahimi di Hebron pada 1990-an.
 
Untuk mengakhiri serangan Israel, orang-orang Palestina secara teratur mengorganisir dan melakukan Ribat, sebuah kegiatan di masjid dengan duduk berjam-jam dan berhari-hari untuk mencegah orang Israel memasukinya. 
 

Departemen Wakaf Islam di Yerusalem mengatakan pada Ahad,  (17/4) lebih dari 700 pemukim Israel memaksa masuk ke kompleks untuk merayakan liburan Paskah Yahudi selama sepekan. Satu hari setelahnta, 561 pemukim menyerbu lokasi di bawah perlindungan ketat polisi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement