Kondisi semakin buruk dengan pemadaman listrik yang lama, kekurangan bahan bakar, dan inflasi yang melonjak. Juru bicara Asosiasi Perkebunan Roshan Rajadurai mengatakan, faktor tersebut membantu mendorong industri untuk mendekati kerusakan total.
Krisis telah membuat Arulappan tidak dapat melakukan pembayaran dua bulan terakhir atas serangkaian pinjaman berbunga tinggi yang diambil untuk memulai bisnisnya, membiayai biaya pernikahan keluarga, dan melunasi hutang lainnya. Inflasi makanan mendekati 50 persen pada tahun ini, dengan biaya transportasi hampir 70 persen lebih mahal, meskipun dalam praktiknya angkanya bahkan lebih tinggi.
Harga tepung naik dua kali lipat selama setahun terakhir, membuat banyak pekerja perkebunan tidak dapat menjangkau roti pipih berisi kelapa yang mereka gigit sambil memetik teh. "Kami harus beralih makan nasi. Tapi itupun sekarang sangat mahal," kata Arulappan.
Biaya perjalanan bus dua kilometer ke sekolah untuk dua anaknya juga meningkat lebih dari dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir. Namun pasangan itu terus membayar uang sekolah swasta untuk memastikan kehidupan mereka lebih baik.
"Saya tidak pernah ingin melihat anak-anak saya bekerja di perkebunan," kata Michael.
Namun, krisis telah menghancurkan rencana pendidikan lanjutan untuk putra sulung mereka, Akshon Ray. Keluarga itu menabung selama dua tahun untuk sebuah laptop yang dijanjikan kepada anak tertua yang berusia 22 tahun jika mendapat hasil bagus pada ujian akhirnya.
Hanya saja, di atas lemari besi keluarga itu terdapat sebuah map yang berisi brosur kampus yang awalnya direncanakan untuk anak sulung melanjutkan kuliah. Namun, beban keuangan terlalu banyak. "Kamu harus menghidupi keluarga," kata Arulappan kepada putranya sesaat sebelum dia pergi bekerja di pabrik sapu di Kolombo.