REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan hampir setengah populasi wilayah Tigray, Ethiopia, yang dilanda konflik selama hampir dua tahun sangat membutuhkan makanan. Lembaga PBB itu kesulitan menjangkau populasi tersebut karena kekurangan pasokan bahan bakar.
Walaupun pengiriman bantuan makanan kembali dilakukan setelah pemerintah mendeklarasikan gencatan senjata sepihak pada bulan Maret lalu. Tapi menurut WFP angka malnutrisi di daerah itu "meroket" dan diperkirakan terus memburuk.
Layanan perbankan dan telekomunikasi di Tigray yang dihuni sekitar 5,5 juta orang terhenti beberapa hari usai tentara pasukan nasional dan sekutu mundur satu tahun yang lalu. WFP mengatakan belum pulihnya layanan-layanan itu menghambat kemampuan masyarakat membeli makanan.
"Kelaparan semakin dalam, angka malnutrisi meroket, dan situasi memburuk saat masyarakat memasuki musim puncak kelaparan sampai panen tahun ini pada bulan Oktober," kata WFP dalam laporannya, Sabtu (20/8/2022).
Dalam laporan tersebut WFP juga mengatakan hampir setengah ibu hamil dan menyusui di Tigray mengalami malnutrisi. Begitu juga sepertiga anak-anak dibawah lima tahun, mendorong stunting dan kematian saat melahirkan.
Wilayah sekitar Tigray dan tetangganya Afar dan Amhara juga terdampak perang. Sekitar 13 juta orang membutuhkan bantuan makanan. WFP mengatakan naik 44 persen dibandingkan laporan mereka sebelumnya pada Januari lalu.
PBB mengatakan sejak 1 April hanya 1.750.000 liter bahan bakar yang masuk Tigray. Kurang dari 20 persen yang diperlukan bantuan kemanusiaan per bulan bila kebutuhan bahan bakar terpenuhi.
Dampak kekurangan bahan bakar dapat terlihat dari naiknya jumlah orang di Tigray yang membutuhkan bantuan makanan. Saat daerah itu menjalani apa yang PBB gambarkan blokade de facto selama enam pada Januari lalu sekitar 83 persen masyarakat membutuhkan bantuan makanan.
Konvoi skala besar mulai masuk Tigray lagi pada bulan April tapi pekerja sosial kesulitan mendistribusikan makanan dan jumlah orang membutuhkannya naik menjadi 89 persen. Jumlah masyarakat yang "sangat" membutuhkan naik dari 37 persen pada Januari menjadi 47 persen pada bulan Agustus.