Selasa 23 Aug 2022 23:15 WIB

MK Thailand Terima Petisi Parlemen Bahas Masa Jabatan Perdana Menteri

Prayuth merebut kekuasaan pada Mei 2014 sehingga masa jabatannya dipertanyakan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
 Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha
Foto: AP/Petros Giannakouris
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Mahkamah Konstitusi Thailand menerima petisi dari anggota parlemen oposisi yang meminta pertimbangan apakah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha telah mencapai batas hukum untuk menjabat atau tidak, Senin (22/8/2022). Petisi tersebut ditandatangani oleh 171 anggota DPR.

Dalam petisi ini meminta pengadilan yang beranggotakan sembilan orang hakim untuk memutuskan pasal dalam konstitusi yang membatasi perdana menteri hingga delapan tahun menjabat. Pengadilan secara luas diperkirakan akan mengumumkan apakah akan memutuskan petisi tersebut pada Rabu (24/8/2022).

Hal yang dipermasalahkan adalah tanggal yang harus digunakan dalam menentukan berapa lama Prayuth menjabat. Prayuth yang saat itu menjadi komandan tentara merebut kekuasaan pada Mei 2014 setelah menggulingkan pemerintah terpilih dalam kudeta militer.

Prayuth memimpin junta yang berkuasa dan dilantik sebagai perdana menteri pada 24 Agustus 2014, di bawah konstitusi sementara pasca-kudeta. Pengkritiknya dan beberapa ahli hukum berpendapat ini berarti dia akan menyelesaikan delapan tahun jabatan pada Selasa (22/8/2022).

Pendukung junta mengatakan, konstitusi negara saat ini yang berisi ketentuan yang membatasi perdana menteri hingga delapan tahun baru mulai berlaku pada 6 April 2017. Tanggal tersebut harus digunakan sebagai tanggal mulai Prayuth menjabat sebagai perdana menteri,

Interpretasi lain dari waktu menjabat adalah penghitungan mundur dimulai pada 9 Juni 2019. Ketika itu Prayuth menjabat sebagai perdana menteri di bawah konstitusi baru setelah pemilihan umum 2019.

Langkah untuk menggulingkan Prayuth telah meningkatkan ketegangan politik. Jajak pendapat menunjukkan, popularitas perdana menteri sedang surut dan para pengkritiknya telah mencari jalan keluarnya selama lebih dari dua tahun dengan mengatakan Prayuth berkuasa secara tidak sah. Prayuth juga dituduh salah menangani ekonomi dan merusak respons Thailand terhadap pandemi Covid-19.

Prayuth dan pemerintah koalisinya telah selamat dari empat mosi tidak percaya sejak pemilihan 2019, terakhir bulan lalu. Beberapa protes jalanan yang mendesak pengadilan untuk memutuskan Prayuth telah diadakan dalam beberapa hari terakhir dan beberapa kritikus juga menyarankan dia mengambil inisiatif untuk mengundurkan diri. Jika Prayuth tidak dipaksa keluar dari jabatannya, dia harus mengadakan pemilihan baru pada Maret tahun depan.

Batasan delapan tahun dalam konstitusi dimaksudkan untuk menargetkan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Miliarder populis ini digulingkan oleh kudeta militer 2006 tetapi mesin politiknya tetap kuat.

Tentara pada 2014 juga menggulingkan pemerintahan saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra. Yingluck dipaksa turun dari jabatannya sesaat sebelum pengambilalihan oleh keputusan pengadilan yang kontroversial.

Kelas penguasa konservatif tradisional Thailand, termasuk militer, merasa bahwa popularitas Thaksin merupakan ancaman bagi monarki negara itu serta pengaruh militer. Pengadilan telah menjadi pembela yang gigih dari tatanan yang sudah mapan dan secara konsisten memutuskan ikut melawan Thaksin dan penantang lainnya.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement