REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ratu Elizabeth terima pengunduran diri Boris Johnson sebagai perdana menteri Inggris dalam pertemuan mereka di Kastil Balmoral, Skotlandia. Johnson mengakhiri tiga tahun pemerintahannya yang penuh gejolak.
Ia dipaksa Partai Konservatif untuk mundur bulan Juli lalu setelah didera berbagai skandal selama berbulan-bulan. Dalam pidatonya perpisahan sebagai perdana menteri, ia mengajak Inggris bersatu dan mendukung penggantinya.
Usai menyampaikan pidato itu di depan Downing Street, ia berangkat ke Skotlandia untuk menyerahkan pengunduran diri resmi ke Elizabeth. Perdana Menteri yang baru, Liz Truss juga menemui ratu dan diminta membentuk pemerintahan.
Truss akan memimpin Inggris di tengah kemungkinan resesi dan krisis energi yang mengancam keuangan jutaan rumah tangga bisnis Inggris. Ia berencana mendorong ekonomi dengan memotong pajak sambil menyediakan miliar poundsterling untuk membatasi kenaikan tarif energi yang sudah mengguncang pasar finansial.
"Inilah akhirnya, apa yang ingin saya sampaikan pada rekan Partai Konservatif, sudah waktunya politik berakhir, waktunya bagi kami semua mendukung Liz Truss dan timnya dan programnya," kata Johnson, Selasa (6/9/2022).
Truss merupakan perdana menteri keempat Partai Konservatif dalam enam tahun. Ia akan menghadapi krisis dengan dukungan politik yang lebih lemah dibandingkan pendahulunya. Ia mengalahkan mantan menteri keuangan Rishi Sunak dengan perbandingan suara lebih tipis dari yang diperkirakan.
Ia berjanji untuk mengambil "tindakan berani" untuk membawa Inggris melalui masa sulit, termasuk memotong pajak walaupun sudah diperingatkan langkah itu dapat memperparah inflasi yang sudah mencapai 10,1 persen pada Juli lalu.
Johnson berusaha mempertahankan jabatannya sampai akhir. Ia menggunakan pidato perpisahannya untuk menekankan keberhasilannya seperti program vaksin di awal pandemi dan dukungannya pada Ukraina yang diinvasi Rusia.
Ia juga mencatat "menggelar Brexit" sebagai salah satu prestasi terbesarnya. Meski jajak pendapat menunjukkan mayoritas masyarakat Inggris menilai keluar dari Uni Eropa sebagai kesalahan, sementara Truss menggunakan pendekatan lebih keras pada Brussel yang akhirnya memicu perang dagang.