REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Petugas penyelamat Libya menemukan sekurangnya 15 jasad di pantai wilayah Sabratha pada Jumat (7/10/2022). Sebelumnya tragedi kebakaran menimpa kapal pengungsi.
Seorang juru bicara Bulan Sabit Merah Libya, Tawfik Al Shukri mengatakan, pihak berwenang setempat menghubungi kelompok bantuan mengenai jasad-jasad yang terdampar setelah kapal karam di lepas pantai barat negara itu. "Jenazah diambil dan dibawa ke rumah sakit, dan akan diperiksa untuk menentukan penyebab kematian," kata Al Shukri dilansir laman Aljazirah, Sabtu (8/10/2022).
Sebuah sumber keamanan di Sabratha, yang terletak 70 kilometer barat ibu kota Tripoli, juga mengatakan bahwa para korban tewas adalah migran yang terperangkap dalam perselisihan antara dua kelompok penyelundup manusia yang bersaing di kota barat laut itu. Para migran secara teratur mencoba menyeberangi Laut Tengah dari Libya dalam upaya mencapai pantai Eropa.
Sabratha adalah titik peluncuran utama bagi sebagian besar orang Afrika yang melakukan perjalanan berbahaya melintasi Mediterania. Sebuah video dan gambar yang beredar secara online menunjukkan sebuah kapal yang terbakar di pantai dengan asap hitam mengepul.
Video itu juga menunjukkan kapal yang sama hangus di dalamnya dan berisi sisa-sisa manusia yang hangus. Video dan gambar tidak dapat segera diverifikasi. Penyebab kematian masih belum jelas dan juga tidak jelas kapan kebakaran dimulai.
Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan pada Juni lalu, setidaknya 150 migran yang berangkat dari Libya dikhawatirkan telah tenggelam dalam enam bulan pertama 2022. Penyeberangan biasanya meningkat sekitar pertengahan dan akhir pertengahan tahun.
Libya telah muncul sebagai titik transit dominan bagi orang-orang yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan di Afrika dan Timur Tengah di tengah perselisihan internal. Terkoyak oleh perang saudara sejak 2011, negara kaya minyak itu terbagi antara pemerintah saingan, masing-masing didukung oleh pelindung internasional dan beberapa milisi bersenjata di lapangan.
Penyelundup manusia dalam beberapa tahun terakhir telah diuntungkan dari kekacauan di Libya. Penyelundupan manusia melintasi perbatasan panjang negara gurun itu dengan enam negara.
Mereka kemudian biasanya dikemas ke dalam perahu karet yang tidak lengkap dan berangkat pada perjalanan laut yang berisiko. Banyak dari mereka yang telah dicegat dan dikembalikan ke Libya termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka ditahan di pusat-pusat penahanan yang dikelola pemerintah yang penuh dengan pelecehan, termasuk penyiksaan, pemerkosaan dan pemerasan, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia.