Senin 17 Oct 2022 20:35 WIB

Ibu Hamil Sulit Dapatkan Perawatan Kesehatan Setelah Banjir Pakistan

Ibu hamil berjuang untuk mendapatkan Perawatan kesehatan setelah banjir Pakistan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Seorang wanita hamil terbaring di ranjang rumah sakitnya untuk perawatan setelah melarikan diri dari rumahnya yang dilanda banjir, di Distrik Larkana, Sindh, Pakistan, Kamis, 8 September 2022. Banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang dimulai pada pertengahan Juni, telah memicu tanah longsor dan rumah runtuh, menewaskan lebih dari 1.350 orang dan meninggalkan lebih dari 600.000 tunawisma di Pakistan.
Foto:

Di kamp-kamp pengungsian di Kota Fazilpur dan Rajanpur yang dilanda banjir, para ibu hamil mengatakan kepada The Associated Press (AP), mereka tidak menerima perawatan atau layanan untuk kehamilan mereka sejak tiba di kamp hampir dua bulan lalu.  Klinik membagikan obat-obatan untuk penyakit ringan, tetapi tidak ada vitamin untuk ibu hamil.

Keesokan harinya, setelah AP mengunjungi pusat medis setempat untuk memberikan informasi mengenai kondisi para ibu hamil di pengungsian, petugas kesehatan pergi untuk memeriksa para ibu hamil dan membagikan kalsium dan suplemen zat besi.

Shakeela Bibi dan keluarganya akhirnya meninggalkan kamp pengungsian.  Mereka memasang tenda di dekat rumah mereka yang hancur.  Pihak berwenang memberikan bahan pokok seperti tepung, ghee, dan lentil selama sebulan. Kehamilan Shakeela telah melewati tanggal perkiraan lahir. Tetapi dokter telah meyakinkan Shakeela bahwa bayinya baik-baik saja dan dia tidak akan membutuhkan operasi caesar.

Seorang ibu hamil lainnya Perveen Bibi (18 tahun) menyatakan, kurangnya fasilitas kesehatan di kamp pengungsian memaksanya untuk pergi ke klinik swasta dan merogoh kocek lebih dalam untuk USG serta pemeriksaan. Namun Perveen tidak mampu membeli obat-obatan yang telah diresepkan oleh dokter.

Usia kandungan Perveen kini memasuki usia lima bulan. Dia tidak memiliki hubungan kerabat dengan Shakeela, hanya nama belakangnya saja yang sama. Sebelum banjir melanda kediamannya, Perven mampu memenuhi kebutuhan makanan bergizi bagi bayi yang dikandungnya. Namun setelah banjir besar itu datang, dia tak bisa lagi memenuhi kebutuhannya.

“Dulu saya memiliki pola makan yang baik, dengan produk susu dari ternak kami,” kata Perveen.

Keluarga Perveen harus menjual ternak mereka setelah banjir. Karena mereka tidak punya tempat untuk memelihara dan tidak punya uang.

“Kami membutuhkan dokter wanita, perawat wanita, dokter kandungan,” kata Perveen yang memiliki satu anak perempuan dan sedang mengandung anak laki-laki.  

Setahun yang lalu, bayi laki-laki Perveen meninggal dunia beberapa hari setelah  lahir. Perveen mengaku, dia tidak mampu membayar USG dan pemeriksaan kehamilan.

Di kamp pengungsi, ​​​​satu tenda dihuni oleh keluarga yang terdiri antara lima hingga tujuh orang. Sebagian besar pengungsi tidur di atas tikar.

Ketan di kuat kamp digunakan untuk mencuci pakaian, mencuci piring, dan mandi.  Para ibu hamil menyatakan, ada kekurangan air bersih dan sabun di kamp pengungsian. Di kamp tersebut, terdapat kamar mandi tetapi tidak memiliki atap. Para ibu hamil takut terkena infeksi Karena orang-orang buang air besar sembarangan di sekitar kamp.  

Sebuah LSM yang berbasis di Karachi, Mama Baby Fund, telah menyediakan 9.000 kit persalinan yang aman. Kit tersebut mencakup barang-barang untuk bayi baru lahir, serta pemeriksaan antenatal dan postnatal untuk 1.000 wanita. Kit ini sebagian besar dibagikan di seluruh Provinsi Sindh dan Baluchistan. Asosiasi untuk Ibu dan Bayi Baru Lahir, yang juga berbasis di Karachi, telah menyediakan lebih dari 1.500 alat persalinan yang aman, sebagian besar di Sindh.

Saima Bashir dari Institut Ekonomi Pembangunan Pakistan, mengatakan, krisis kesehatan yang dipicu oleh banjir akan bergema di kalangan perempuan. Karena butuh waktu lama untuk membangun kembali fasilitas kesehatan dan memulihkan keluarga berencana.

 “Perempuan dan gadis muda sangat rentan dalam situasi ini,” kata Bashir.  Dia menunjuk pada meningkatnya laporan pernikahan anak.

Menurut angka PBB, sebelum banjir, 21 persen gadis Pakistan menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara 4 persen anak perempuan Pakistan menikah sebelum usia 15 tahun.

Tingkat pernikahan anak di Pakistan meningkat karena beberapa alasan.  Beberapa orang tua menikahkan anak perempuan mereka sebagai cara untuk mendapatkan dukungan keuangan dari keluarga anak laki-laki sehingga mereka dapat membangun kembali rumah mereka. Sementara keluarga lain khawatir dengan keselamatan gadis-gadis mereka di kamp-kamp pengungsian. Mereka percaya, menikahkan anak-anak gadis mereka  akan melindungi dari pelecehan atau mengamankan masa depan mereka.

Bashir mengatakan, dalam beberapa tahun ke depan, gadis-gadis itu akan hamil. Terlebih akses kontrasepsi sangat terbatas.

 “Akan ada lebih banyak kehamilan yang tidak diinginkan. Ini memperparah krisis (kemanusiaan pasca banjir) dan  menambah populasi" ujar Bashir.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement