Senin 12 Dec 2022 18:55 WIB

Kebijakan Zero-Covid Dilonggarkan, Ini Dampaknya Bagi China

Setelah pelongaran justru mengalami penurunan aktivitas ekonomi yang tajam.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Esthi Maharani
 Warga mengantre di tengah suhu dingin yang membekukan untuk tes usap tenggorokan rutin COVID-19 mereka di tempat pengujian virus corona di Beijing, Ahad, 4 Desember 2022. China pada Minggu melaporkan dua kematian tambahan akibat COVID-19 karena beberapa kota bergerak dengan hati-hati untuk melonggarkan anti virus. -pembatasan pandemi di tengah frustrasi publik yang semakin vokal atas tindakan tersebut.
Foto: AP/Andy Wong
Warga mengantre di tengah suhu dingin yang membekukan untuk tes usap tenggorokan rutin COVID-19 mereka di tempat pengujian virus corona di Beijing, Ahad, 4 Desember 2022. China pada Minggu melaporkan dua kematian tambahan akibat COVID-19 karena beberapa kota bergerak dengan hati-hati untuk melonggarkan anti virus. -pembatasan pandemi di tengah frustrasi publik yang semakin vokal atas tindakan tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pelonggaran kebijakan zero-Covid di China tampaknya belum diikuti dengan kembali menggeliatnya aktivitas masyarakat. Per Ahad (11/12/2022) banyak toko dan kegiatan bisnis yang justru memilih untuk tutup.

China resmi melonggarkan kebijakan zero-Covid pada Rabu (7/12/2022), setelah banyak warga melakukan aksi protes. Namun setelah kebijakan tersebut dilonggarkan, beberapa kota yang sejak awal bergelut hebat dengan Covid-19 justru mengalami penurunan aktivitas ekonomi yang tajam.

Menurut pendapat sebagian orang, penurunan aktivitas ekonomi ini dipicu oleh banyaknya usaha yang harus tutup karena para pekerjanya terinfeksi dan menjalani isoman di rumah. Di sisi lain, banyak warga yang memutuskan untuk tak beraktivitas di luar rumah karena tingginya risiko terpapar Covid-19.

Ahli epidemiologi China, Zhong Nanshan, mengungkapkan bahwa strain Omicron memiliki tingkat penularan yang tinggi. Satu orang yang terinfeksi oleh Omicron bisa menularkan hingga 18 orang lainnya.

"Kita bisa melihat puluhan ribu atau ratusan ribu orang terinfeksi di kota-kota besar," jelas Zhong, seperti dilansir Reuters.

Pelonggaran kebijakan zero-Covid membuat warga sipil tak lagi diwajibkan untuk menjalani tes Covid-19. Pengetesan Covid-19 hanya diwajibkan untuk kelompok tertentu, seperti petugas kesehatan.

Dihapuskannya kewajiban tes Covid-19 pada warga sipil membuat jumlah kasus Covid-19 baru di China mengalami penurunan tajam. Di Beijing misalnya, jumlah kasus Covid-19 baru per Sabtu berjumlah 1.661. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 42 persen dari sebelumnya 3.974 kasus pada 6 Desember 2022 atau satu hari sebelum pelonggaran kebijakan zero-Covid diresmikan.

Meski jumlah kasus Covid-19 baru menurun, bukti menunjukkan bahwa jumlah kasus Covid-19 yang sebenarnya belum mengalami perubahan. Di kota-kota besar, setiap orang bahkan diyakini memiliki setidaknya satu kenalan yang terkena Covid-19.

"Di perusahaan saya, jumlah orang yang negatif Covid-19 hampir mendekati nol," ujar seorang wanita yang bekerja di bidang pariwisata, Nancy.

Berdasarkan hal ini, Nancy menilai Covid-19 merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari. Mengingat besarnya kasus Covid-19 di tempat kerjanya, Nancy menilai semua pekerja lambat-laun akan bekerja dari rumah karena tertular.

Ahli ekonomi Asia dari Capital Economics, Mark Williams, mengatakan transisi pelonggaran zero-Covid akan membantu mengembalikan pola belanja atau pengeluaran warga kembali normal secara bertahap. Namun dalam beberapa bulan ke depan, pola pengeluaran atau belanja warga masih akan rendah mengingat masih tingginya risiko infeksi.

Hal senada juga disampaikan oleh Zhong. Dari sudut pandang epidemiologi, Zhong menilai aktivitas masyarakat di China akan mulai kembali normal dalam waktu beberapa bulan ke depan.

"Menurut pendapat saya pada paruh pertama tahun depan, setelah Maret," lanjut Zhong.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement