Senin 09 Jan 2023 11:36 WIB

Hoda Muthana, Mantan Anggota ISIS yang Merindukan Amerika Serikat

Hoda Muthana memutuskan bergabung dengan ISIS pada 2014.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Gambar ini diambil dari video pembicaraan Hoda Muthana selama wawancara di kamp penahanan Roj di Suriah tempat dia ditahan oleh pasukan Kurdi sekutu AS, Rabu, 9 November 2022. Muthana, yang melarikan diri dari rumahnya di Alabama pada usia berusia 20 tahun, bergabung dengan kelompok ISIS dan memiliki anak dengan salah satu pejuangnya mengatakan dia masih berharap untuk kembali ke Amerika Serikat, menjalani hukuman penjara jika perlu, dan mengadvokasi melawan ekstremis. (AP Photo/The News Movement)
Foto: AP
Gambar ini diambil dari video pembicaraan Hoda Muthana selama wawancara di kamp penahanan Roj di Suriah tempat dia ditahan oleh pasukan Kurdi sekutu AS, Rabu, 9 November 2022. Muthana, yang melarikan diri dari rumahnya di Alabama pada usia berusia 20 tahun, bergabung dengan kelompok ISIS dan memiliki anak dengan salah satu pejuangnya mengatakan dia masih berharap untuk kembali ke Amerika Serikat, menjalani hukuman penjara jika perlu, dan mengadvokasi melawan ekstremis. (AP Photo/The News Movement)

REPUBLIKA.CO.ID, Hoda Muthana merindukan rumah dan keluarganya. Selama delapan tahun terakhir, tepatnya sejak memutuskan bergabung dengan kelompok teroris ISIS pada 2014, hidupnya telah mengalami fase pasang surut.

Kini Muthana, wanita berusia 28 tahun asal Alabama, Amerika Serikat (AS), harus mendekam di kamp penahanan Roj di Suriah. Dia menyesal dan ingin pulang. Muthana berharap pemerintah AS bisa membantunya.

Baca Juga

The News Movement memperoleh kesempatan untuk mewawancarai Muthana di kamp Roj yang dikelola atau dikuasai pasukan Kurdi tersebut. Muthana kini mempunyai seorang anak hasil dari hubungannya dengan seorang anggota ISIS.

Dalam wawancara, Muthana berulang kali menyampaikan penyesalannya bergabung dengan ISIS, kecuali momen ketika dia melahirkan anaknya. Muthana mencintai anaknya.

Muthana mengungkapkan, ketika memutuskan bergabung dengan ISIS pada 2014, dia merasa telah menjadi korban cuci otak dari seorang pedagang daring. Kala itu, Muthana masih berusia 20 tahun. Pedagang tersebut yang mempengaruhinya untuk menjadi anggota ISIS. Sampai akhirnya wanita keturunan Yaman yang lahir di New Jersey itu memiliki tekad kuat untuk terbang ke Suriah.

Kepada keluarganya, Muthana menyampaikan bahwa dia akan melakukan perjalanan sekolah. Tapi Muthana terbang ke Turki, kemudian menyeberang ke Suriah. Dalam prosesnya, dia diam-diam mencairkan cek sekolahnya. Di momen itu, Muthana tak tahu sama sekali bahwa keputusannya bergabung dengan ISIS dapat berarti menutup pintunya untuk kembali ke negaranya atau keluarganya.

Setelah bergabung ISIS, Muthana gencar melakukan propaganda untuk kelompok teroris tersebut. Pada 2015, lewat akun Twitter-nya, dia meminta warga Amerika bergabung dengan ISIS.

Dia pun menghasut agar warga AS melakukan serangan di dalam negeri. Muthana bahkan menyarankan aksi yang dapat mereka lakukan, yakni penembakan di jalan atau menabrakkan kendaraan ke kerumunan.

Namun dalam wawancara dengan The News Movement, Muthana menyangkal telah melakukan hasutan dan propaganda lewat akun Twitter-nya. Dia mengaku kala itu akun Twitter-nya dikuasai oleh anggota ISIS.

Pada 2016, pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama mencabut kewarganegaraan Muthana. Donald Trump, yang menjabat setelah Obama, juga tak mengakui Muthana sebagai warga AS. Trump bahkan dengan tegas melarangnya untuk kembali.

Pengadilan AS telah memihak pemerintah dalam masalah kewarganegaraan Muthana. Mahkamah Agung AS juga telah menolak mempertimbangkan gugatan untuk mengizinkan Muthana pulang.

Hal itu membuat Muthana menjadi individu tak berkewarganegaraan. Saat ini masa kejayaan ISIS telah berlalu, walaupun sekelompok anggotanya masih tetap bergerilya di Irak, Suriah, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Sementara Muthana harus mendekam di kamp Roj bersama ribuan mantan anggota ISIS lainnya dari berbagai negara.

Dia tetap mengharapkan pengampunan dari Pemerintah AS agar bisa kembali ke keluarganya. “Saya berharap pemerintah saya memandang saya sebagai seseorang yang muda pada saat itu (ketika bergabung dengan ISIS) dan naif,” kata Muthana dalam wawancara dengan The News Movement, dikutip Associated Press, Ahad (8/1/2023).

Menurut kelompok Human Rights Watch (HRW), terdapat sekitar 65.600 tersangka anggota ISIS dan keluarga mereka, baik warga Suriah maupun warga asing, yang ditahan di kamp serta penjara di timur laut Suriah. Pusat atau fasilitas penahanan itu dikelola atau dipimpin pasukan Kurdi.

HRW dan lembaga hak asasi lainnya menyebut kondisi kehidupan di dalam kamp sangat memprihatinkan. Makanan, air, dan perawatan medis tidak memadai. Aksi pelecehan fisik atau seksual antara sesama tahanan atau antara penjaga dan tahanan juga kerap terjadi. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement