Rabu 08 Feb 2023 13:41 WIB

Rusia akan Bantu Negara Afrika Barat dan Teluk Guinea Hadapi Kelompok Ekstremis

Rusia mendukung Afrika dalam menghadapi neo-kolonial Barat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Moskow akan membantu negara-negara di Sahel Afrika Barat dan Teluk Guinea menghadapi kelompok pemberontak ekstremis yang kejam. Hal itu diungkap Lavrov ketika melakukan kunjungan perdananya yang dianggap bersejarah ke Mali, Selasa (7/2/2023).
Foto: EPA-EFE/KIM LUDBROOK
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, Moskow akan membantu negara-negara di Sahel Afrika Barat dan Teluk Guinea menghadapi kelompok pemberontak ekstremis yang kejam. Hal itu diungkap Lavrov ketika melakukan kunjungan perdananya yang dianggap bersejarah ke Mali, Selasa (7/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO – Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Moskow akan membantu negara-negara di Sahel Afrika Barat dan Teluk Guinea menghadapi kelompok pemberontak ekstremis yang kejam. Hal itu diungkap Lavrov ketika melakukan kunjungan perdananya yang dianggap bersejarah ke Mali, Selasa (7/2/2023).

“Perang melawan terorisme tentu saja menjadi masalah bagi negara-negara lain di kawasan ini. Kami akan memberikan bantuan kepada mereka untuk mengatasi kesulitan ini. Ini kepentingan Guinea, Burkina Faso, dan Chad serta wilayah Sahel pada umumnya dan bahkan negara-negara pesisir di Teluk Guinea,” kata Lavrov.

Baca Juga

Lavrov kemudian menegaskan, Rusia mendukung Afrika dalam menghadapi apa yang disebutnya sebagai 'pendekatan neo-kolonial' Barat. “Kami akan memberikan dukungan kami untuk menyelesaikan masalah di benua Afrika. Kami selalu memulai dari dasar bahwa masalah Afrika harus diselesaikan dengan solusi Afrika,” ucapnya.

Kemudian terkait negara yang sedang dikunjunginya, yakni Mali, Lavrov menjanjikan kelanjutan bantuan militer. Sejak merebut kekuasaan pada 2020, junta yang berkuasa di Mali telah mendatangkan pesawat, helikopter, dan paramiliter Rusia untuk memperkuat perjuangannya melawan militan ekstremis.

Kedekatan Moskow dengan Mali bertepatan dengan hengkangnya Prancis, sekutu tradisional sekaligus mantan penjajah negara tersebut. Negara yang terkurung daratan itu adalah pusat pemberontakan ekstremis. Dimulai di Mali utara pada 2012, kemudian menyebar ke negara tetangga Niger dan Burkina Faso pada 2015.

Ribuan warga sipil telah tewas di tiga negara, dan jutaan telah meninggalkan rumah mereka. Ketidakpuasan dalam militer di Mali dan Burkina telah memicu dua kudeta di kedua negara tersebut.

Serangan lintas batas sporadis juga terjadi di Togo, Benin dan Pantai Gading dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu memicu kekhawatiran bahwa para ekstremis berusaha untuk mendorong ke selatan ke Teluk Guinea.

Prancis menghentikan kehadiran militernya yang telah berlangsung lama di Mali. Keputusan itu diambil setelah hubungannya dengan junta Mali kian sengit.

Prancis menarik pasukan terakhirnya dari Mali pada 2022. Ketegangan serupa baru-baru ini pecah antara Prancis dan Burkina Faso. Kontingen militer Prancis di sana, satu unit pasukan khusus yang berjumlah sekitar 400 orang, akan ditarik bulan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement