REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia berharap pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Yaman dapat membantu meredakan konflik Yaman. Perang yang sudah berlangsung sejak 2014 tersebut telah menyebabkan Yaman dilanda krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
“Dengan adanya restorasi hubungan diplomatik Iran dan Saudi, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih optimal pada peredaan konflik di Yaman,” kata Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih saat diwawancara Republika, Senin (13/3/2023).
Dia menjelaskan, memang telah terjadi “perang kepentingan” di Yaman yang melibatkan Saudi dan Iran. Masing-masing pihak memiliki sekutunya sendiri-sendiri. “Sekarang mereka terjebak dalam perang yang berlarut-larut, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, semuanya merasakan penderitaan. Dan yang paling menderita’ kan rakyat Yaman,” ucap Bagus.
Bagus menyebut, salah satu penderitaan yang dialami rakyat Yaman adalah sulitnya memperoleh bahan pokok dan obat-obatan. Akibatnya, masyarakat di sana mengalami malnutrisi. “Jadi mudah-mudahan, dengan adanya rekonsiliasi (Saudi-Iran) ini mempermudah peredaan ketegangan di Yaman dan juga mempercepat proses pembangunan Yaman agar memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakatnya,” katanya.
Konflik di Yaman telah berlangsung sejak 2014. Krisis di sana memburuk sejak koalisi pimpinan Arab Saudi melakukan operasi militer untuk mendukung pasukan pemerintah melawan kelompok pemberontak Houthi pada 2015. Sejak September 2014, Houthi telah berhasil merebut dan menguasai ibu kota Yaman, Sanaa.
Saudi memang memiliki kekhawatiran terhadap Houthi. Riyadh memandang kelompok tersebut sebagai ancaman terhadap keamanannya. Selama ini Houthi dilaporkan memperoleh dukungan dari Iran. Menurut PBB, konflik Yaman telah merenggut 223 ribu nyawa. Dari 30 juta penduduknya, 80 persen di antaranya kini bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. PBB telah menyatakan bahwa krisis Yaman merupakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Terlepas dari konflik di Yaman, Bagus Hendraning Kobarsyih menjelaskan bahwa pemulihan hubungan antara Saudi dan Iran memiliki pengaruh besar terhadap kawasan. Sebab kedua negara tersebut memiliki banyak kepentingan dan mitra di Timur Tengah. “Sehingga ketika mereka (Saudi-Iran) berkonflik, efeknya dirasakan secara meluas,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kata Bagus, pemulihan hubungan Saudi-Iran perlu disambut positif. Kerja sama kedua negara diharapkan bisa memberikan manfaat untuk kawasan, terutama di bidang keamanan dan kesejahteraan.
Pada Jumat (10/3/2023) pekan lalu, Iran dan Arab Saudi mengumumkan tentang pemulihan hubungan diplomatik antara kedua negara. Kesepakatan itu tercapai setelah perwakilan Teheran dan Riyadh menggelar pembicaraan di Beijing, Cina. Negeri Tirai Bambu bertindak sebagai mediator dalam proses tersebut.
“Sebagai hasil dari pembicaraan tersebut, Iran dan Arab Saudi setuju untuk melanjutkan hubungan diplomatik serta membuka kembali kedutaan dalam waktu dua bulan,” kata kantor berita Iran, Islamic Republic News Agency (IRNA), dalam laporannya Jumat pekan lalu.
Kantor berita Arab Saudi, yakni Saudi Press Agency (SPA), mengonfirmasi tercapainya kesepakatan rekonsiliasi dengan Iran. SPA menyebut, Saudi dan Iran sepakat menghormati kedaulatan negara dan tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Menurut SPA, Riyadh dan Teheran pun sepakat mengaktifkan perjanjian kerja sama keamanan yang ditandatangani pada 2001.
Saudi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran pada 2016. Langkah itu diambil setelah Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran digeruduk dan dibakar massa pengunjuk rasa. Penggerudukan itu terjadi saat warga Iran berdemonstrasi memprotes keputusan Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah bernama Nimr al-Nimr.