REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Para pemimpin militer dan pasukan pro-demokrasi Sudan berjanji mulai membentuk pemerintahan transisi baru yang dipimpin sipil pada 11 April. Khalid Omar menyatakan, penyelesaian politik akan ditandatangani pada 1 April dan konstitusi transisi baru akan ditandatangani beberapa hari kemudian.
"Kami akan mulai membentuk institusi otoritas transisi pada 11 April mendatang,” kata Omar.
Sudan terjerumus ke dalam kekacauan setelah kudeta militer, yang dipimpin Jenderal tertinggi negara itu Abdel-Fattah Burhan, menggulingkan pemerintah yang didukung Barat pada Oktober 2021 dan mengakhiri transisi singkatnya menuju demokrasi. Pengambilalihan itu terjadi lebih dari dua tahun setelah pemberontakan rakyat yang memaksa penggulingan Omar al-Bashir dan pemerintahan Islamisnya pada April 2019.
Tekanan meningkat pada berbagai kekuatan politik Sudan untuk mengimplementasikan janji-janji dalam kesepakatan pada Desember. Beberapa masalah politik paling pelik di negara ini, termasuk reformasi sektor keamanan dan keadilan transisi, masih belum terselesaikan.
Sebuah komite beranggotakan 11 orang yang terdiri atas sembilan pemimpin pro-demokrasi, satu dari tentara, dan satu lagi dari Pasukan Dukungan Cepat paramiliter besar negara itu, telah ditugaskan membuat kesepakatan akhir. Sejak Desember, kemajuan dan pembangunan konsensus berjalan lambat.
Pemain politik utama, dari mantan pemimpin pemberontak hingga jaringan akar rumput pro-demokrasi, tetap menentang kesepakatan tersebut, kendati banyak upaya yang ditengahi secara internasional untuk menarik mereka.
''Diharapkan, beberapa non-penandatangan perjanjian kerangka kerja akan bergabung dalam pertemuan ini,'' kata Omar.
Pemulihan transisi demokrasi Sudan kemungkinan akan melihat gelombang baru di negara Afrika. Sejak kudeta, bantuan internasional telah mengering. Kelangkaan roti dan bahan bakar yang disebabkan perang di Ukraina, telah menjerumuskan ekonomi Sudan ke dalam kekacauan lebih lanjut.