REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sudan Volker Perthes menyatakan pada Senin (17/4/2023), sedikitnya 185 orang meninggal akibat bentrokan di Sudan. Lebih dari 1.800 terluka sejak pertempuran meletus pada 15 April.
Korban jiwa yang berjatuhan akibat militer Sudan dan Rapid Support Forces (RSF) menggunakan tank, artileri, dan senjata berat lainnya di daerah padat penduduk. Jet tempur menukik di atas kepala dan tembakan anti-pesawat menerangi langit saat kegelapan turun.
Jumlah korban bisa jauh lebih tinggi karena ada banyak mayat di jalan-jalan di sekitar pusat Khartoum yang tidak dapat dijangkau oleh siapa pun karena bentrokan tersebut.
Belum ada keterangan resmi berapa banyak warga sipil atau kombatan yang meninggal. Sebuah kelompok dokter sebelumnya menyebutkan, jumlah kematian warga sipil mencapai 97 jiwa.
Kekerasan yang tiba-tiba selama akhir pekan antara dua jenderal tertinggi Sudan ini menjebak jutaan orang di dalam rumah atau area warga dapat menemukan tempat berlindung. Persediaan logistik semakin menipis dan beberapa rumah sakit terpaksa ditutup.
“Tembakan dan penembakan ada di mana-mana,” kata kepala serikat pekerja ribuan penjual teh dan pekerja makanan lainnya Awadeya Mahmoud Koko dari rumahnya di distrik selatan Khartoum.
Koko mengatakan, sebuah peluru menancap di rumah tetangganya pada akhir pekan dan membunuh sedikitnya tiga orang. “Kami tidak bisa membawa mereka ke rumah sakit atau mengubur mereka," ujarnya.
Sedangkan di ibu kota Khartoum, tembakan terus-menerus meletus dan asap putih mengepul di dekat markas besar militer. Di dekatnya, setidaknya 88 mahasiswa dan staf telah terjebak di perpustakaan perguruan tinggi teknik di Khartoum University sejak awal pertempuran. Kabar ini disampaikan oleh salah seorang mahasiswa dalam sebuah video yang diposting daring pada Senin.
Seorang mahasiswa gugur dalam bentrokan di luar dan seorang lainnya terluka. Mahasiswa dalam video itu menyatakan, mereka yang terjebak tidak punya makanan atau air.