Senin 24 Apr 2023 20:25 WIB

Imigran di Meksiko Bentuk Karavan Baru Menuju Mexico City

Karavan baru ini diperkirakan terdiri dari sekitar 3.000 imigran.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Imigran dihentikan oleh Garda Nasional di sebuah pos pemeriksaan militer di jalan menuju Tonala, negara bagian Chiapas, Meksiko. ilustrasi
Foto: AP Photo/Marco Ugarte
Imigran dihentikan oleh Garda Nasional di sebuah pos pemeriksaan militer di jalan menuju Tonala, negara bagian Chiapas, Meksiko. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, TAPACHULA -- Ribuan imigran yang ditahan selama berbulan-bulan di selatan Meksiko membentuk karavan baru yang bergerak ke arah ibu kota. Karavan ini sebagai bentuk protes dan mendorong agar pengajuan suaka mereka ke Amerika Serikat (AS) dipercepat.

Para imigran yang sebagian besar orang Venezuela memulai pawai  di sebelah utara di Kota Tapachula, dekat perbatasan Meksiko-Guatemala, yang pusat-pusat penampungan imigrannya sudah kelebihan kapasitas. Beberapa imigran mengatakan mereka berharap dapat tiba di Mexico City dalam 10 hari.

Baca Juga

Setiap tahun terdapat ribuan orang yang melarikan diri dari kekerasan dan kemiskinan ekstrem di Amerika Tengah berimigrasi ke Meksiko. Mereka berharap dapat menyeberang dan menempuh rute legal menuju Amerika Serikat.

Pihak berwenang Tapachula memperkirakan karavan baru ini terdiri dari sekitar 3.000 imigran. Beberapa dari Cina dan negara Asia lainnya.

"Kami bergabung dengan karavan agar lebih aman dan tidak ditahan," kata seorang imigran Venezuela Yoani yang hanya memberikan nama depannya, Ahad (23/4/2023).

Ia mengatakan, keluarganya sudah kehabisan uang dan berharap proses hukum dapat dipercepat untuk melanjutkan perjalanan ke Mexico City. Direktur lembaga nonprofit Pueblos Sin Fronteras (Masyarakat Tanpa Batas) Irineo Mujica mengatakan karavan baru terbentuk sebagai protes imigran yang menutup pusat-pusat penampungan imigran ditutup.

Bulan lalu, sekitar 40 orang tewas dalam kebakaran di salah satu pusat penampungan imigran di Ciudad Juarez, Meksiko utara.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement