REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemilihan umum Thailand kembali mengadu kekuatan lama Pheu Thai yang didukung keluarga miliarder Shinawatra melawan militer dan konservatif melalui partai-partai konservatif kanan. Pertarungan menahun ini akan menunjukan babak selanjutnya dari pemerintahan Thailand.
Benih-benih konflik ditaburkan pada 2001 ketika Thaksin Shinawatra disapu kekuasaan dengan platform pro-miskin, pro-bisnis yang memberi energi pada massa pedesaan yang kehilangan haknya dan menantang jaringan patronase. Posisi itu menempatkannya berselisih dengan elite mapan Thailand.
Para pencela Thaksin di kelas menengah perkotaan memandangnya sebagai sosok korup yang menyalahgunakan posisinya untuk membangun basis kekuatannya sendiri dan semakin memperkaya keluarganya. Protes massal pecah di Bangkok selama masa jabatan keduanya.
Pada 2006, militer menggulingkan Thaksin sehingga membuatnya melarikan diri ke pengasingan. Pemerintahan saudara perempuannya Yingluck mengalami nasib yang sama delapan tahun kemudian. Sekarang putrinya Paetongtarn Shinawatra telah mengambil peran tersebut untuk melawan pemerintahan yang didukung militer.
"14 Mei akan menjadi hari bersejarah. Kami akan berubah dari kediktatoran menjadi pemerintahan yang dipilih secara demokratis," kata Paetongtarn kepada massa yang bersorak di rapat umum terakhir Pheu Thai pada Jumat (12/5/2023)
"Setiap kali kami berkuasa, kami mampu membawa kemakmuran bagi rakyat. Saya memasuki politik untuk membantu generasi baru, untuk menghidupi keluarga mereka," ujar perempuan berusia 36 tahun itu.
Pendekatan populis Pheu Thai dan pendahulunya telah begitu sukses. Program mereka membuat kelompok saingan yang pernah mencemoohnya kini menawarkan kebijakan yang sangat mirip.
Salah satunya adalah partai Palang Pracharat yang didukung militer. Kelompok ini menjanjikan bantuan masing-masing 30.000 baht kepada 7,5 juta keluarga petani, peningkatan besar dalam tunjangan untuk orang tua dan proyek infrastruktur di wilayah termiskin Thailand.
Sedangkan United Thai Nation milik Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha yang memimpin kudeta terhadap pemerintah terakhir Pheu Thai telah menjanjikan keringanan utang. Dia menjanjikan listrik yang lebih murah untuk kelompok berpenghasilan rendah dan subsidi untuk transportasi serta panen tanaman.
Prayuth telah berkampanye secara berkelanjutan, berharap untuk merayu pemilih kelas menengah konservatif yang lelah dengan protes jalanan dan pergolakan politik. "Kami tidak ingin perubahan yang akan menjungkirbalikkan negara. Bisakah Anda menerimanya? Tahukah Anda kerusakan seperti apa yang akan terjadi?" tanyanya kepada para pendukung pada Jumat.
Sedangkan partai baru Move Forward dipimpin oleh alumni Harvard berusia 42 tahun Pita Limjaroenrat mengalami lonjakan dukungan pada momen-momen terakhir. Partai tersebut mengandalkan suara dukungan dari kaum muda, termasuk 3,3 juta pemilih pemula yang memenuhi syarat. Agenda yang diusung oleh partai ini adalah rencana membongkar monopoli, melemahkan peran politik militer, dan mengubah undang-undang yang ketat terhadap penghinaan terhadap monarki.