REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Partai pemenang pemilu yang kini menjadi oposisi di Thailand, Move Forward, menunjuk seorang pemimpin baru pada Sabtu (23/9/2023). Penunjukkan ketua baru ini setelah Pita Limjaroenrat, yang sebelumnya memimpin partai ini meraih kemenangan besar dalam pemilihan umum pada bulan Mei, digagalkan dalam upayanya untuk menjadi perdana menteri.
Chaithawat Tulathon, seorang mantan editor majalah politik, akan memimpin Move Forward, yang memenangkan kursi terbanyak di parlemen dengan dukungan kaum muda dan kaum urban atas kebijakan-kebijakan anti-kemapanannya. Partai progresif ini akan memimpin oposisi setelah anggota parlemen konservatif dan senat yang tidak terpilih memblokir upayanya untuk membentuk pemerintahan.
Pita mengundurkan diri sebagai pemimpin partai awal bulan ini di tengah-tengah sejumlah tantangan hukum dan upaya legislatif yang menghambatnya. Hal ini dilihat banyak orang sebagai bagian dari pola yang dilakukan oleh kelompok pro-militer dan royalis (pendukung setia kerajaan), untuk melemahkan pemimpin generasi baru yang membawa perubahan politik Thailand.
Pada bulan Juli, ia diberhentikan dari parlemen atas tuduhan bahwa ia memiliki saham di sebuah perusahaan media. Aturan ini, yang membuatnya tidak layak untuk menjabat anggota parlemen. Pita telah menyangkal hal ini.
Chaithawat, yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris jenderal partai, menyebut langkah tersebut sebagai "restrukturisasi sementara," menunggu Pita membersihkan namanya. "Pita akan tetap menjabat sebagai penasihat partai dan mengelola kegiatan-kegiatan di luar parlemen," kata Chaithawat.
Awal pekan ini, pengadilan melarang seorang pendukung terkemuka partai Move Forward, Pannika Wanich, untuk berpolitik seumur hidup. Alasannya karena foto yang diunggahnya secara online lebih dari satu dekade yang lalu yang dianggap tidak menghormati kerajaan dan melanggar standar etika.
Partai Move Forward telah berjanji untuk mengubah undang-undang atas penghinaan terhadap kerajaan, akan mendapat hukuman keras di negara itu. Aturan yang menghukum penghina terhadap kerajaan Thailand dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.
Konstitusi negara tersebut, yang disusun selama pemerintahan junta, telah "menjadi alat yang ampuh untuk menyerang para politisi yang lantang," ujar Sunai Phasuk, peneliti senior di Thailand untuk Human Rights Watch kepada Reuters.
"Hal ini dapat dengan mudah memusnahkan anggota-anggota oposisi, yang memberikan komentar yang menyerukan reformasi," tambahnya.