Senin 19 Jun 2023 13:59 WIB

Menteri Jerman-Prancis Kunjungi Tunisia Bahas Perlintasan Migran

Lebih dari 500 migran diperkirakan telah tenggelam di lepas pantai selatan Yunani.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Salah satu kapal imigran (ilustrasi).
Foto: english.globalarabnetwork.com
Salah satu kapal imigran (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Para menteri dalam negeri dari Jerman dan Prancis yang bertugas mengatur migrasi mencoba mengekang kematian di rute berbahaya melintasi Laut Mediterania. Mereka melakukan perjalanan untuk menghadiri pembicaraan dengan presiden dan pejabat lainnya di Tunisia pada Ahad (18/6/2023).

Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser dan Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin melakukan pertemuan dua hari. “Kami ingin membuat rute migrasi legal untuk menghapus basis bisnis penyelundupan yang tidak manusiawi. Kami ingin hak asasi pengungsi dilindungi dan kematian mengerikan di Mediterania dihentikan," ujar pernyataan dari Kementerian Dalam Negeri Prancis.

Baca Juga

Pernyataan Kementerian Dalam Negeri Jerman mengatakan, diskusi akan fokus pada masalah migrasi dan keamanan penting saat ini, termasuk mempromosikan saluran migrasi legal. Mereka akan membahas cara mengurangi migrasi tidak teratur dan penyelundupan manusia.

"Memperkuat operasi penyelamatan laut dan mempromosikan pemulangan sukarela migran yang tidak berhak tinggal di Uni Eropa," ujar pernyataan tersebut.

Darmanin tidak merinci tujuan perjalanannya ke Tunisia sebelumnya. Namun Kementerian Dalam Negeri Prancismengkonfirmasi pertemuan Darmanin dan Faeser bersama perwakilan Tunisia pada Senin (19/6/2023).

Pertemuan ini didorong atas kekhawatiran usai karam kapal yang membawa migran pada pekan lalu. Kapal penangkap ikan yang penuh dengan pria, perempuan, dan anak-anak terbalik saat mencoba mencapai Italia dari Libya, tetangga Tunisia.

Lebih dari 500 migran diperkirakan telah tenggelam dalam  di lepas pantai selatan Yunani. Badan migrasi PBB mengatakan, peristiwa itu bisa menjadi kapal karam migran paling mematikan kedua yang tercatat, setelah April 2015 terbaliknya kapal lain di rute Libya-Italia yang menewaskan sekitar 1.100 orang.

Para migran, terutama dari Afrika sub-Sahara, melakukan penyeberangan laut yang berbahaya dari Tunisia dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Otoritas Eropa kini sedang mencari tindakan yang diperkuat dari pemerintah Presiden Tunisia Kais Saied.

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, pihak berwenang Tunisia mencegat 13 ribu orang di atas kapal di lepas pantai kota pelabuhan Sfax di Tunisia timur. Itu merupakan rute utama ke Eropa untuk orang Afrika sub-Sahara, yang tidak memerlukan visa untuk bepergian ke Tunisia.

Selain berupaya mengurangi arus migran dari Tunisia, otoritas Eropa juga menawarkan bantuan untukmenstabilkan negara Afrika Utara itu. Para pemimpin Eropa yang mengunjungi Tunisia awal bulan ini menjanjikan bantuan keuangan lebih dari semiliar euro. Sebanyak 100 juta euro yang dialokasikan tahun ini untuk manajemen perbatasan Tunisia dan operasi pencarian dan penyelamatan serta anti-penyelundupan.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement