Jumat 14 Jul 2023 03:50 WIB

Wisatawan Amerika Padati Objek Wisata di Eropa

Pariwisata diperkirakan akan melampaui rekor tahun 2019 di beberapa destinasi Eropa.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Kembang api terlihat di atas kuil Parthenon kuno di bukit Acropolis saat perayaan Tahun Baru di Athena, Yunani, Ahad (1/1/2023).
Foto: AP Photo/Yorgos Karahalis
Kembang api terlihat di atas kuil Parthenon kuno di bukit Acropolis saat perayaan Tahun Baru di Athena, Yunani, Ahad (1/1/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, VENICE -- Objek Wisata di Eropa kembali bergeliat usai tiga tahun pandemi. Kini turis dan wisatawan dari berbagai negara kembali berdatangan, seperti di reruntuhan bangunan kuil kuno di Yunani.

Tempat ini masih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisata dunia kuno ala helenistik. Dengan menggeliatnya aktivitas wisata, membuat para turis harus menunggu lebih dari dua jam, hanya untuk mengunjungi Acropolis di Athena.

Baca Juga

Sementara objek wisata lain di beberapa kota di Eropa juga mulai kembali ramai. Seperti antrean taksi di stasiun kereta api utama Roma juga sama panjangnya. Dan begitu banyak pengunjung yang memadati Alun-Alun Santo Markus di Venesia sehingga kerumunan orang memadati jembatan penyeberangan - bahkan pada hari kerja.

Setelah tiga tahun mengalami keterbatasan akibat pandemi, pariwisata diperkirakan akan melampaui rekor tahun 2019 di beberapa destinasi terpopuler di Eropa. Terutama pada musim panas ini, mulai dari Barcelona dan Roma, Athena dan Venesia hingga pulau-pulau indah di Santorini di Yunani, Capri di Italia, dan Mallorca di Spanyol.

Sementara turis Eropa mendorong industri ini menuju pemulihan tahun lalu, peningkatan musim panas ini sebagian besar dipimpin oleh orang Amerika. Ini didorong oleh dolar yang kuat dan dalam beberapa kasus penghematan akibat pandemi. Banyak yang datang termotivasi oleh 'wisata balas dendam' - sangat ingin menjelajah lagi sehingga mereka tidak gentar dengan harga tiket pesawat dan hotel yang lebih tinggi.

Salah satu wisatawan, Lauren Gonzalez, 25 tahun, mendarat di Roma minggu ini bersama empat teman SMA dan kuliahnya untuk menghabiskan waktu selama 16 hari di ibu kota Italia, Florence dan tepi pantai setelah tiga tahun berlibur di Amerika. Mereka tidak peduli dengan harga yang tinggi dan keramaian.

"Kami sudah menabung, dan kami tahu ini adalah perjalanan yang penuh makna,\" kata Gonzalez, yang bekerja di sebuah agensi pemasaran. "Kami semua berusia pertengahan 20-an. Ini adalah (momen) perubahan dalam hidup kami. ... Ini adalah sesuatu yang istimewa. Kerumunan orang tidak menghalangi kami. Kami tinggal di Florida. Kami semua pernah ke Disney World saat cuaca panas. Kita semua baik-baik saja."

Warga Amerika tampaknya tidak terganggu oleh kerusuhan baru-baru ini di Paris dan kota-kota lain di Prancis. Ada sedikit penurunan dalam pemesanan penerbangan, tetapi itu terutama untuk perjalanan domestik.

"Beberapa teman saya mengatakan, sekarang agak gila di sana, tapi kami pikir musim panas adalah waktu yang tepat untuk pergi, jadi kami akan mengambil tindakan pencegahan," ujar Joanne Titus, seorang wanita berusia 38 tahun dari Maryland, saat berjalan-jalan di kawasan perbelanjaan Champs-Elysees yang terkenal.

Kembalinya pariwisata massal merupakan anugerah bagi hotel dan restoran, yang mengalami kerugian akibat pembatasan Covid-19. Namun, ada sisi negatifnya juga, karena janji untuk memikirkan kembali pariwisata agar lebih berkelanjutan sebagian besar tidak diindahkan.

"Pandemi ini seharusnya memberi kita pelajaran," kata Alessandra Priante, direktur departemen regional untuk Eropa di Organisasi Pariwisata Dunia PBB.

Sebaliknya, katanya, pola pikir yang ada adalah tentang memulihkan uang. Semuanya adalah tentang pendapatan, tentang apa yang ada di sini dan saat ini.

"Kita harus melihat apa yang akan terjadi dalam waktu dua atau tiga tahun ke depan karena harga-harga yang ada saat ini tidak berkelanjutan," ujarnya.

 

 

Walikota Florence menghentikan penyewaan...

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement