REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Presiden Niger Mohamed Bazoum masih ditahan di istana kepresidenan pada Kamis (27/7/2023) sore, usai kudeta yang dilakukan pihak militer pada Rabu (26/7/2023) malam.
Hingga kini, belum jelas siapa yang bertanggung jawab mengambil kekuasaan atas negara tersebut, namun dunia internasional mengecam kudeta ini karena akan mengganggu upaya pemberantasan kelompok militan di Afrika.
Prancis, negara bekas penjajah wilayah itu, dan blok regional Afrika Barat ECOWAS menyerukan agar Bazoum segera dibebaskan dan kembali ke tatanan konstitusional. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov juga mengatakan hal serupa bahwa tatanan konstitusional harus dipulihkan.
Wakil Presiden AS Kamala Harris mengatakan bahwa kerja sama dengan pemerintah Niger bergantung pada komitmennya yang berkelanjutan terhadap standar-standar demokrasi. AS juga mendukung pengambilan tindakan di Dewan Keamanan PBB untuk meredakan situasi di Niger, kata juru bicara misi AS di PBB.
Ketua Komisi Uni Afrika Moussa Faki Mahamat mengatakan bahwa ia telah berbicara pada hari Kamis dengan Bazoum dan bahwa presiden 'baik-baik saja', kantor berita Rusia RIA melaporkan.
Kudeta di Niger merupakan yang ketujuh di Afrika Barat dan Tengah sejak tahun 2020 dan dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi kemajuan demokrasi di Afrika. Termasuk upaya perang melawan pemberontakan oleh militan jihadis di wilayah tersebut, di mana Niger merupakan sekutu utama Barat.