REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Ribuan orang berunjuk rasa di Ibu Kota Niger, Niamey, menuntut Prancis menarik duta besar dan pasukannya dari negara Afrika Barat tersebut. Mereka menuduh mantan penguasa kolonial Niger itu ikut campur tangan terhadap urusan dalam negeri mereka.
Para pengunjuk rasa berkumpul di dekat pangkalan yang menampung tentara Prancis, setelah adanya seruan dari beberapa organisasi sipil yang memusuhi kehadiran militer Prancis. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan, “Tentara Prancis, tinggalkan negara kami.”
Militer Niger mengambil alih kekuasaan pemerintah sipil pada 26 Juli. Militer menuduh Presiden Prancis Emmanuel Macron menggunakan retorika yang memecah belah dalam komentarnya mengenai kudeta dan berusaha memaksakan hubungan neokolonial dengan bekas jajahannya.
Macron mendukung Presiden terguling Mohamed Bazoum dan menolak mengakui penguasa baru. Duta Besar Prancis, Sylvain Itte tetap berada di Niger. Dia memiliki tenggat waktu 48 jam untuk meninggalkan Niger yang diberikan lebih dari seminggu yang lalu. Penguasa militer menuduh Paris melakukan campur tangan terang-terangan dengan mendukung Bazoum, yang ditahan sejak kudeta 26 Juli.
"Komentar Macron yang mendukung Bazoum merupakan campur tangan terang-terangan lebih lanjut dalam urusan dalam negeri Niger," kata pemimpin pemerintahan militer Niger, Kolonel Amadou Abdramane dalam sebuah pernyataan yang dibacakan di televisi nasional.
Pada Jumat (2/9/2023) Macron mengatakan, dia telah berbicara dengan Bazoum. “Kami mendukungnya. Kami tidak mengenali mereka yang melakukan kudeta tersebut. Keputusan yang akan kami ambil, apa pun bentuknya, akan didasarkan pada pertukaran dengan Bazoum,” kata Macron.
Negara Sahel juga terlibat perselisihan dengan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS). Blok regional tersebut mengancam akan melakukan intervensi militer jika diplomasi gagal mengembalikan Bazoum ke tampuk kekuasaan.
"Saya menyerukan kepada semua negara bagian di kawasan ini untuk mengadopsi kebijakan yang bertanggung jawab. Perancis mendukung tindakan diplomatik (ECOWAS)," ujar Macron.
Koresponden Aljazirah yang melaporkan dari Niamey, mengatakan, para demonstran mengungkapkan rasa frustrasinya karena Prancis mulai mengambil tindakan sendiri. Menurut personel keamanan, protes dijadwalkan akan dimulai sekitar pukul 15.00 waktu setempat. Namun ribuan demonstran telah berkumpul pada pukul 10 pagi, sehingga mengejutkan polisi dan pasukan keamanan.
Protes yang terjadi selama beberapa hari terakhir relatif tenang dan terorganisir. Tetapi pada Sabtu (2/9/2023) para demonstran terlihat mendobrak penghalang yang dibuat oleh pasukan keamanan, polisi dan militer untuk mendekati pangkalan tentara dan beberapa kali mencoba memaksa masuk.
Militer sejak itu memperkuat pengamanan di sekitar pangkalan militer Perancis, yang menampung 1.500 tentara Perancis. Militer Niger memperingatkan agar pengunjuk rasa tidak masuk secara paksa dan dampak yang akan terjadi.