REPUBLIKA.CO.ID, QUITO -- Calon Presiden Ekuador, Fernando Villavicencio, ditembak mati pada Rabu (9/8/2023) ketika sedang kampanye di ibu kota, Quito. Villavicencio dikenal sebagai kandidat yang lantang menentang korupsi, terutama selama pemerintahan Presiden Rafael Correa 2007-2017.
Villavicencio mengajukan banyak tuntutan yudisial terhadap pejabat tinggi pemerintahan Correa, termasuk terhadap mantan presiden itu sendiri. Mantan kolonel intelijen militer, Edison Romo, mengatakan, sikap vokal Villavicencio menjadi ancaman bagi organisasi kriminal internasional.
Terlebih, salah satu ancaman pembunuhan terhadapnya diduga berasal dari para pemimpin Kartel Sinaloa Meksiko, yaitu salah satu kelompok kejahatan terorganisasi internasional yang sekarang beroperasi di Ekuador.
Kekerasan di Ekuador telah melonjak dalam satu tahun terakhir, ketika para penyelundup narkoba telah bermarkas di negara Amerika Selatan itu. Hal ini mengakibatkan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam perdagangan narkoba, pembunuhan dengan kekerasan dan perekrutan anak-anak oleh geng-geng narkoba.
Penasihat kampanye Villavicencio, Patricio Zuquilanda meminta otoritas internasional untuk mengambil tindakan terhadap kekerasan, di tengah meningkatnya kekerasan dan perdagangan narkoba.
Presiden Guillermo Lasso meyakini pembunuhan ini didalangi oleh kejahatan terorganisasi. Penembakan terjadi kurang dari dua minggu sebelum pemilihan presiden 20 Agustus.
"Saya meyakinkan Anda bahwa kejahatan ini tidak akan dibiarkan begitu saja. Kejahatan terorganisasi ini sudah terlalu jauh dan mereka akan merasakan beban hukum sepenuhnya," ujar Lasao.