Senin 28 Aug 2023 12:16 WIB

Junta Niger Putus Pasokan Air dan Listrik Kedubes Prancis

Ratusan pengunjuk rasa menuntut penarikan pasukan Prancis dari Niger.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Mobil-mobil yang dibakar tergeletak di tempat parkir dekat markas besar Partai Niger untuk Demokrasi dan Sosialisme di Niamey, Niger, 27 Juli 2023..
Foto: EPA-EFE/STR
Mobil-mobil yang dibakar tergeletak di tempat parkir dekat markas besar Partai Niger untuk Demokrasi dan Sosialisme di Niamey, Niger, 27 Juli 2023..

REPUBLIKA.CO.ID, NIAMEY -- Pemerintahan militer Niger telah memutus pasokan air dan listrik ke Kedutaan Besar Perancis di ibu kota Niamey dan area lain. Junta tidak mengizinkan pengiriman makanan dan bantuan lainnya.

Menurut beberapa laporan di media sosial pada Ahad (27/8/2023), para pemimpin negara tersebut juga telah mengambil tindakan serupa di konsulat Prancis di Zinder. Presiden Komite Dukungan Nasional untuk Dewan Nasional Perlindungan Negara (CNSP) Elh Issa Hassoumi Boureima telah meminta semua mitra pangkalan Prancis di Niger untuk menghentikan semua pasokan air dan listrik serta produk makanan.

Baca Juga

Selain itu, setiap mitra yang terus membantu Prancis dalam proses penyediaan barang dan jasa akan dianggap musuh rakyat yang berdaulat. Laporan tersebut muncul setelah batas waktu dua hari yang diberikan oleh pemerintah militer kepada duta besar Prancis  Duta Besar Sylvain Itte untuk meninggalkan negara itu telah berakhir pada Ahad.

Selain itu, ratusan pengunjuk rasa berkumpul di dekat pangkalan militer Prancis di ibu kota Niger, Niamey, pada Ahad. Mereka menuntut penarikan pasukan Prancis dari negara tersebut.

Para pengunjuk rasa membawa plakat dengan slogan-slogan anti-Prancis dan menuntut penarikan segera pasukan Prancis dari negara tersebut. Mereka juga menyerukan pemecatan Itte.

Itte didakwa mengabaikan undangan pertemuan di Kementerian Luar Negeri dan tindakan lain pemerintah Prancis yang dianggap bertentangan dengan kepentingan Niger. Menanggapi perintah tersebut, Perancis mengeluarkan pernyataan melalui Kementerian Luar Negeri yang mengatakan, para pelaku kudeta tidak memiliki wewenang untuk mengajukan permintaan ini.

"(Dengan) persetujuan duta besar hanya berasal dari otoritas terpilih yang sah di Niger," ujar Kementerian Luar Negeri Prancis dikutip dari Anadolu Agency.

Pemerintahan militer baru-baru ini mengatakan, telah mencabut beberapa perjanjian militer yang ditandatangani Niger dengan Perancis. Tindakan ini telah ditolak oleh Paris dan mengatakan bahwa junta tidak memiliki wewenang yang sah untuk melakukannya.

Para demonstran juga meneriakkan slogan-slogan menentang Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS). Aliansi itu telah menetapkan sanksi ekonomi terhadap Niger dan mengancam akan melakukan tindakan militer untuk memulihkan ketertiban konstitusional.

Niger merupakan bagian penting dari infrastruktur keamanan di Afrika Barat. Wilayah itu menjadi satu-satunya harapan Barat bagi stabilitas di wilayah Sahel. Negara ini menampung sekitar 1.500 tentara Prancis sebagai bagian dari pasukan anti-pemberontakan regional.

Sentimen anti-Prancis telah melanda wilayah Sahel dalam beberapa tahun terakhir dengan dua negara tetangga Niger, Burkina Faso dan Mali, mengusir pasukan Prancis. Mereka memilih mempekerjakan tentara bayaran dari kelompok paramiliter Wagner Rusia untuk membantu memerangi pemberontak.

Ketegangan tengah meningkat dalam beberapa minggu setelah tergulingnya Presiden Mohamed Bazoum yang terpilih secara demokratis di negara Afrika Barat pada 26 Juli. Kementerian Luar Negeri Niger yang dipimpin junta memberikan batas waktu 48 jam kepada Itte untuk meninggalkan wilayah Niger. Prancis melancarkan operasi awal bulan ini untuk mengevakuasi warganya serta warga negara lainnya dari Niamey. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement