Jumat 01 Sep 2023 05:35 WIB

Sekolah Australia Dorong Kebangkitan Bahasa Pribumi

Ada upaya menghidupkan kembali lusinan bahasa yang berada di ambang kepunahan

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Ada upaya dari akar rumput untuk menghidupkan kembali lusinan bahasa yang berada di ambang kepunahan di Australia
Foto: AP/Rick Rycroft
Ada upaya dari akar rumput untuk menghidupkan kembali lusinan bahasa yang berada di ambang kepunahan di Australia

REPUBLIKA.CO.ID, COFFS HARBOUR -- Berputar tanpa alas kaki di lingkaran pasir, Clark Webb memimpin kelas anak-anak sekolah sambil menari mengikuti tepuk tangan dan nyanyian Gumbaynggirr, suku Aborigin Australia.

“Membuka sekolah kita sendiri, itu adalah tindakan kedaulatan,” kata Webb, salah satu dari mereka yang berupaya menghidupkan kembali bahasa Pribumi yang digunakan di Coffs Harbour, sebuah kota pesisir sekitar 500 km utara Sydney.

Baca Juga

"Jadi kita memerlukan 'Suara' yang ada untuk melobi hal itu," ujar Webb mengacu pada prosedur yang disebut "Suara untuk Parlemen".

"Suara untuk Parlemen" akan dilakukan melalui referendum pada 14 Oktober 2023. Warga akan memutuskan apakah Masyarakat Adat mendapat pengakuan dalam konstitusi Australia untuk pertama kalinya pada momen itu.

Ketika dibuka tahun lalu, Gumbaynggirr Giingana Freedom School (GGFS) yang didirikan Webb adalah sekolah Pribumi bilingual pertama di negara bagian New South Wales--negara bagian yang paling padat penduduknya di Australia. Hal ini merupakan bagian dari upaya dari akar rumput untuk menghidupkan kembali lusinan bahasa yang berada di ambang kepunahan, serta didukung oleh pemerintah federal dan negara bagian.

Banyak masyarakat Pribumi Australia memandang kebangkitan bahasa sebagai hal yang penting untuk menjamin kelangsungan budayanya. Bahasa merupakan salah satu tahun terpenting bagi hak-hak Masyarakat Adat dalam sejarah negara tersebut. Pelestarian bahasa pun adalah salah satu kunci kampanye ‘Ya’ menjelang referendum.

Komunitas Pribumi Australia atau komunitas Aborigin dan Penduduk Pribumi Selat Torres bisa dibilang merupakan komunitas tertua di dunia. Kelompok ini telah bertahan dalam sejarah di benua ini sejak puluhan ribu tahun yang lalu.

Tapi, setelah penjajahan oleh Inggris pada 1788, komunitas itu semakin menghadapi diskriminasi. Kondisi itu berlanjut lama setelah Australia menjadi sebuah negara pada 1901.

Pihak berwenang seringkali merelokasi masyarakat adat dari tanah adat yang dikenal sebagai Country, dan secara paksa memisahkan anak-anak masyarakat adat dari keluarganya. Peristiwa ini menerbitkan momen “generasi yang dicuri” karena kebijakan yang berlangsung dari pertengahan abad ke-19 hingga 1970-an.

Hingga 1980-an, pihak berwenang menghukum masyarakat adat karena menggunakan bahasanya sendiri. “Saya pikir, saat tumbuh dewasa, saya tahu ada sesuatu yang hilang dari hidup saya,” kata Webb.

“Dan seiring bertambahnya usia, saya menyadari bahwa mata rantai yang hilang bagi saya adalah bahasa kami," ujarnya.

Webb memperkirakan sekarang ada sekitar 30 penutur Gumbaynggirr yang mahir atau sangat mahir, di antaranya adalah putrinya yang berusia sembilan tahun, Jayalaani. “Rasanya menyenangkan, karena di sekolah lama saya tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri,” ujarnya.

“Mungkin setahun sekali kami pergi ke suatu tempat. Namun sekarang di sekolah ini, kami bisa melakukannya setiap hari Kamis. Rasanya terhubung dengan Country," kata anak perempuan itu.

Australia merupakan salah satu negara dengan tingkat kehilangan bahasa tertinggi di dunia....

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement