REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyebut Barat sebagai kekaisaran kebohongan. Dia menuduh Barat mengadopsi pola pikir neo-kolonial dalam upayanya kepada negara-negara Selatan untuk mendapatkan dukungan bagi Ukraina dalam perang.
Lavrov mengatakan “mayoritas global” telah ditipu oleh negara-negara Barat. “Amerika Serikat dan kolektif bawahannya terus mengobarkan konflik yang secara artifisial memecah umat manusia menjadi blok-blok yang saling bermusuhan dan menghambat pencapaian tujuan secara keseluruhan,” kata Lavrov dikutip dari Aljazirah.
Dalam pidatonya di depan 193 perwakilan negara, Lavrov menggambarkan segelintir orang menggunakan metode penaklukan kolonial untuk mempertahankan dominasinya yang telah lepas dari tangannya. “Mereka mencoba memaksa dunia untuk bermain sesuai aturan mereka yang egois," ujarnya dalam pidato di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada Sabtu (23/9/2023).
Dalam konferensi pers setelah pidato di UNGA, menteri luar negeri menolak proposal 10 poin yang diajukan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Dia pun enggan menerima proposal terbaru PBB untuk menghidupkan kembali inisiatif biji-bijian Laut Hitam.
“Ini sama sekali tidak mungkin dilakukan. Hal ini tidak mungkin dilaksanakan. Ini tidak realistis dan semua orang memahami hal ini, namun pada saat yang sama, mereka mengatakan ini adalah satu-satunya dasar untuk negosiasi," ujar Lavrov menanggapi pengajuan itu.
Lavrov menyatakan, proposal PBB tidak akan berhasil karena Barat tidak memenuhi janjinya kepada Moskow, termasuk menghapus sanksi terhadap bank dan menghubungkannya kembali ke sistem SWIFT global. Dia menyalahkan negara-negara Barat atas krisis pasar pangan dan energi, yang menerapkan tindakan koersif sepihak atau sanksi terhadap negara-negara yang lebih lemah.
"Kami menjelaskan kepada Sekretaris Jenderal mengapa usulannya tidak berhasil. Kami tidak menolaknya. Itu tidak realistis. Itu tidak bisa dilaksanakan," kata Lavrov pada konferensi pers di PBB setelah pidatonya di UNGA.