REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat, Joe Biden telah menyuarakan dukungannya untuk "jeda" kemanusiaan terhadap genosida yang terjadi di Gaza. Sementara Amerika Serikat terus mendesak untuk mengevakuasi seluruh warganya yang terjebak di daerah kantong Palestina yang terkepung tersebut.
"Saya pikir kita perlu jeda," kata Biden dikutip dari Aljazirah dalam sebuah pidato kampanye pada hari Rabu, (1/11/2023), setelah diinterupsi oleh seorang pengunjuk rasa yang mendesak agar gencatan senjata segera dimulai di Gaza.
Pernyataan pemimpin AS tersebut menandai pergeseran posisi Gedung Putih, yang sebelumnya mengatakan bahwa mereka tidak akan mendikte bagaimana Israel melakukan operasi militernya.
Ketika ditanya apa arti jeda, Biden mengatakan bahwa ini adalah "waktu untuk mengeluarkan para tawanan" - merujuk pada tawanan yang ditahan oleh Hamas, kelompok yang memerintah Gaza, demikian penjelasan Gedung Putih.
Pada hari Jumat pekan lalu, (27/10/2023), AS adalah salah satu dari 14 negara di PBB yang memberikan suara "tidak" pada resolusi di Majelis Umum yang menyerukan "gencatan senjata".
AS sejauh ini merupakan sekutu terkuat Israel, yang mengirimkan bantuan miliaran dolar setiap tahunnya. Bantuan ini untuk mendukung serangan militer Israel yang sedang berlangsung, Biden telah meminta Kongres untuk menyetujui paket bantuan militer senilai 14,3 miliar dolar AS, untuk negara tersebut.
Tekanan kepada Biden semakin meningkat dari banyak pihak. Tekanan berasal dari para aktivis hak asasi manusia, sesama pemimpin dunia, dan bahkan anggota Partai Demokrat. Biden juga menghadapi reaksi keras dari warga Amerika keturunan Arab--konstituen penting dalam Partai Demokrat--karena dukungan yang kuat terhadap Israel.
Dukungan Biden dari warga Amerika keturunan Arab anjlok hingga 17 persen, menurut sebuah survei dari lembaga pemikir Arab American Institute (AAI). "Ini sangat rumit bagi warga Israel," tambah Biden dalam pidatonya. "Ini juga sangat rumit bagi dunia Muslim... Saya mendukung solusi dua negara, sejak awal."