Rabu 08 Nov 2023 06:51 WIB
Sebulan Genosida Gaza

Netanyahu di Titik Terendah

Netanyahu tidak lagi pantas menjadi pemimpin Israel.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Dukungan rakyat Israel kepada Netanyahu semakin memudar. Berbagai jajak pendapat menunjukkan bahwa Netanyahu tidak lagi pantas menjadi pemimpin Israel.
Foto:

Kritik terhadap Netanyahu juga dilontarkan oleh mantan sekretaris jenderal NATO,  Javier Solana. Dia meyakini Netanyahu, adalah politisi terburuk dalam sejarah Israel. Berbicara kepada stasiun penyiaran Spanyol, Cadena Ser, Solana mengatakan, tidak ada hal baik yang terjadi selama pemerintahan Netanyahu.

“Saya kira tidak ada hal baik yang akan terjadi jika hal ini terjadi. Tapi hal itu bisa membuat Netanyahu menghilang dari politik Israel," kata Solana, merujuk pada perang Israel-Hamas di Gaza.

Solana juga menekankan bahwa, meskipun AS mendukung Israel, Presiden Joe Biden sama sekali tidak menyukai Netanyahu. Dia mengatakan, Biden telah bekerja keras untuk menekan Netanyahu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan AS di Irak setelah serangan 9/11.

“Keduanya bukan teman, tapi bukan musuh.  Biden tidak pernah menerima Netanyahu di Gedung Putih,” kata Solana.

Solana adalah Sekretaris Jenderal NATO dari 1995 hingga 1999, serta Kepala Diplomat Uni Eropq dari 1999 hingga 2009. Solana mengataka, dia menghabiskan banyak waktu di Gaza selama karirnya, termasuk bernegosiasi dengan Uni Eropa untuk mengawasi perbatasan Rafah dari Gaza ke Mesir agar tetap dibuka.  Program itu dimulai pada 2005 dan berlangsung selama 19 bulan.

Solana juga menyebut Perjanjian Abraham, yang menormalisasi hubungan antara Israel, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, merupakan kesalahan besar. Dia mengatakan, perjanjian tersebut menumbangkan gagasan sebelumnya yang meminta negara-negara mengakui Israel melalui perundingan damai dengan Palestina.

"Menurut saya, gagasan perdamaian terhadap pengakuan atau pengakuan atas perdamaian adalah gagasan yang sangat indah," ujar Solana.

Ketidakpercayaan terhadap Netanyahu bukan hanya diungkapkan oleh masyarakat, namun juga dalam kubu internal pemerintah. Suara-suara anti-Netanyahu telah berkembang hingga mencakup beberapa orang di Partai Likud yang menyatakan mungkin sudah waktunya Netanyahu mundur.

“Ada semakin banyak tokoh terkemuka, banyak dari komunitas keamanan dan intelijen, yang menyebut Netanyahu bukan hanya tidak layak, tetapi juga tidak kompeten secara mental,” ujar Daniel Seidemann, analis konflik Israel-Palestina terkemuka yang berbasis di Yerusalem.

Pensiunan Jenderal Israel, Noam Tibon mengatakan, Netanyahu perlu mengundurkan diri sekarang demi kebaikan Israel. Dia tidak yakin Netanyahu akan membawa Israel pada kemenangan.

“Rakyat perlu merasa aman, mereka perlu yakin bahwa kita akan menang. Saya tidak berpikir dia bisa membawa kita menuju kemenangan,” kata Tibon kepada Channel 12 Israel.

Seorang ilmuwan politik di Universitas Ibrani di Yerusalem, Noam Gidron menyebut perilaku Netanyahu setelah serangan Hamas telah membuat popularitasnya anjlok. Netanyahu telah gagal memberikan dukungan yang memadai bagi puluhan ribu warga Israel yang mengungsi setelah serangan Hamas. Organisasi swasta, termasuk kelompok protes anti-perombakan hukum, dibiarkan mengisi kekosongan tersebut. Netanyahu menunjuk kroni politik untuk memimpin upaya penyelamatan sandera, yang diperkirakan telah menyebabkan bentrokan yang signifikan dan memalukan dengan keluarga warga Israel yang ditawan oleh Hamas. Banyak di antara mereka merasa pemerintah tidak menjadikan penyelamatan sandera sebagai prioritas.

Sejauh ini belum dapat dipastikan apakah Netanyahu akan lengser lebih awal. Koalisi pemerintahan Netanyahu terdiri dari partai sayap kanan Likud, partai Zionisme Religius ekstrem kanan, dan dua partai ultra-Ortodoks (Shas dan United Torah Yudaism). Partai-partai ini menguasai 64 dari 120 kursi di Knesset. Dengan demikian, opisisi harus merekrut setidaknya lima anggota dari barisan mereka untuk memenangkan mosi tidak percaya dan memicu pemilu baru untuk melengserkan Netanyahu. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement