Selasa 14 Nov 2023 21:12 WIB

Mengapa Kembalinya David Cameron Mengejutkan?

Mantan PM David Cameron ditunjuk sebagai menteri luar negeri Inggris.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Mantan perdana menteri Inggris David Cameron ditunjuk sebagai menteri luar negeri Inggris yang baru.
Foto: REUTERS/Stefan Wermuth
Mantan perdana menteri Inggris David Cameron ditunjuk sebagai menteri luar negeri Inggris yang baru.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kembalinya mantan perdana menteri Inggris David Cameron ke pemerintahan sebagai menteri luar negeri mengejutkan banyak pihak. Setelah gagal dalam kampanye referendum Brexit 2016 lalu agar Inggris bertahan di Uni Eropa, Cameron mundur dari jabatannya dan menjauh dari politik.

Ia bahkan bukan anggota parlemen dan kembalinya ke jajaran pemimpin pemerintah Inggris sebagai anggota House of Lords yang tak terpilih bukan hal biasa dalam perpolitikan Inggris. Penunjukannya juga menimbulkan pertanyaan tentang akuntabilitas.

Baca Juga

"Saya tahu ini tidak biasa bagi seorang perdana menteri untuk kembali dengan cara seperti ini, tetapi saya percaya pada pelayanan publik," kata Cameron kepada para wartawan, Senin (13/11/2023).

Perombakan kabinet besar-besaran yang diumumkan oleh Perdana Menteri Rishi Sunak membuat Cameron bergabung dengan sebuah klub kecil mantan perdana menteri Inggris yang kembali ke pemerintahan dalam peran yang lebih rendah. Hanya sekitar selusin mantan pemimpin Inggris lainnya yang pernah melakukan hal tersebut sejak tahun 1700-an.

Banyak pertanyaan muncul mengenai keputusan Sunak ini mengingat warisan Cameron mengenai Brexit dan keputusan-keputusan politik lainnya masih menjadi perdebatan. Berikut beberapa alasan mengapa keputusan Sunak itu dipertanyakan:

Cameron yang lulusan Oxford mantan eksekutif perusahaan hubungan masyarakat. Ia memimpin Partai Konservatif pada tahun 2010 setelah 13 tahun partai itu oposisi pemerintah. Cameron yang menjabat selama enam tahun berbagi kekuasaan dengan Demokrat Liberal yang lebih kecil dalam koalisi yang tak stabil.

Cameron menjabat di usia 43 tahun, salah satu pemimpin Inggris termuda dalam sejarah negara itu. Saat itu banyak pengamat yang membandingkan karismanya sebagai tokoh muda dengan Perdana Menteri dari Partai Buruh Tony Blair.

Namun, bagi banyak orang, kebijakan ekonomi dan keputusannya mengadakan pemungutan suara Brexit adalah kesalahan terbesarnya selama ia berkuasa. Dampak dari dua hal itu masih bergema di Inggris.

Di bawah pemerintahan Cameron, pemerintah Inggris melakukan pemotongan besar-besaran pada kesejahteraan sosial dan pengeluaran publik lainnya di bidang kesehatan dan pendidikan setelah kehancuran ekonomi global tahun 2008.

Janjinya untuk mengadakan referendum mengenai keanggotaan Uni Eropa, upaya untuk menenangkan kaum Konservatif yang memberontak dan menangkal Partai Kemerdekaan Inggris yang beraliran kanan, menjadi awal kejatuhannya.

Kubu "bertahan" di Uni Eropa yang dipimpin Cameron kalah dan hanya memperoleh 48 persen suara dibandingkan dengan 52 persen suara untuk kubu "keluar" yang didukung para Euroskeptik, termasuk mantan Perdana Menteri Boris Johnson.

Inggris meninggalkan Uni Eropa pada tahun 2020 setelah proses perpisahan yang rumit dan berantakan. Masalah perdagangan pasca-Brexit yang pelik terus membayangi politik di Irlandia Utara.

Selama berkuasa Cameron juga berupaya mempererat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Cina. Ia memimpin apa yang ia sebut "masa emas" hubungan Inggris-Cina ketika ia minum bir dengan Xi Jinping di sebuah pub di Inggris saat presiden Cina itu melakukan kunjungan kenegaraan.

Sikapnya pada Cina kini banyak dikritik berbagai pihak di Inggris. Karena semakin kuatnya pengaruh Beijing di panggung internasional dan kerap dianggap sebagai ancaman keamanan internasional.

Tahun lalu Sunak secara eksplisit menjaga jarak pada sikap Cameron terhadap Cina.  Ketika hubungan Inggris dengan Cina semakin menegang akibat invasi Rusia ke Ukraina, Sunak menggambarkan sikap itu "naif.".

Dalam sebuah pernyataan Cameron menyadari ia berbeda pendapat dengan Sunak mengenai sejumlah keputusan. Tapi ia menekankan saat ini ia mendukung Sunak saat Inggris akan menggelar pemilihan umum tahun depan.

Pada tahun 2013, kebijakan luar negeri Cameron juga ditolak partainya sendiri. Ketika Partai Konservatif sendiri bergabung dengan oposisi untuk menolak rencananya menggelar intervensi militer Inggris terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement