REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Petahana Joe Biden dan mantan presiden Donald Trump pada 5 Maret 2024 sama-sama memastikan tiket calon presiden untuk pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) tahun ini setelah mendapatkan mandat besar dari partai mereka masing-masing dalam momen yang disebut "Super Tuesday".
"Super Tuesday" adalah hari ketika sejumlah besar negara bagian di AS menggelar pemilihan pendahuluan (primary) dan kaukus. Primary dan kaukus merupakan proses penjaringan bakal calon presiden menjadi calon presiden, yang memakan waktu setahun.
"Super Tuesday" biasanya terjadi pada Februari atau Maret, tapi kali ini terjadi pada 5 Maret 2024. Dalam "Super Tuesday", sekitar 30 persen suara delegasi diperebutkan oleh para bakal calon presiden.
Untuk Partai Republik, "Super Tuesday" mempersaingkan 865 delegasi dari 15 negara bagian, sedangkan Demokrat memperebutkan 1.420 delegasi dari 15 negara bagian, plus satu wilayah non negara bagian. Hasil 5 Maret lalu menunjukkan Biden menang di 15 negara bagian, sedangkan Trump menang di 14 negara bagian.
Hasil "Super Tuesday" itu membuat Biden total mengumpulkan 2.099 delegasi, sedangkan Trump mengoleksi total 1.228 delegasi. Kedua angka itu sudah melebihi jumlah delegasi minimal atau separuh dari total suara delegasi, yang harus dikumpulkan seorang bakal calon agar bisa dinobatkan sebagai calon presiden dari kedua partai itu.
Angka-angka yang dicatat Trump dan Biden sudah di atas kebutuhan minimal 1.215 delegasi untuk seorang bakal calon presiden dari Republik, dan kebutuhan minimal 1.968 delegasi untuk seorang bakal calon presiden dari Demokrat, untuk memastikan mereka memegang tiket calon presiden dari kedua partai itu.
Hasil "Super Tuesday" sepekan lalu, memastikan Biden dan Trump mengulangi pertemuan mereka empat tahun lalu dalam pemilihan presiden 2020. Untuk pertama kalinya sejak 1956 ketika petahana Dwight David Eisenhower bertarung kembali dengan Adlai Stevenson, terjadi "rematch" antara dua calon presiden yang pernah berhadapan pada pemilu sebelumnya.
Setelah Eisenhower mengalahkan Stevenson pada 1952, presiden inkumben itu kembali menghadapi Stevenson pada Pemilu 1956. Dalam "rematch" itu Eisenhower menang, bahkan dengan selisih suara lebih besar ketimbang saat dia memenangkan pemilihan presiden 1952.
Sebelum Trump, sudah ada beberapa mantan presiden Amerika Serikat yang kembali bertarung dalam pemilu, tapi semuanya gagal, kecuali Grover Cleveland. Cleveland menang tipis dalam pemilihan presiden 1884, tapi empat tahun kemudian dikalahkan calon dari Republik, Benjamin Harrison, Pada Pemilu 1892, Cleveland kembali bertarung dengan Harrison dan kali ini dia menang.
Lebih Bisa Diprediksi
Menurut sebagian media massa dan kalangan di AS, pertandingan ulang ini, tak begitu diinginkan oleh sebagian besar rakyat di negara itu. Alasannya, baik Biden maupun Trump sama-sama tidak populer, bahkan tak diinginkan oleh sebagian pemilih.
Ada kecenderungan rakyat Amerika tidak puas terhadap kinerja Joe Biden, tapi saat bersamaan tidak menganggap Trump sebagai alternatif. Terutama akibat gaya kekuasaannya yang dianggap menabrak aturan dan antidemokrasi.
Trump memang unggul tipis dari Biden dalam berbagai jajak pendapat, tapi dengan margin tipis ini segalanya masih sangat bisa berubah seiring waktu. "Rematch" Biden vs Trump ini sendiri bisa berpengaruh secara global.
Bagian terbesar dunia sendiri cenderung tak menginginkan Trump, bahkan Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan, kali ini dia lebih memilih Biden. Padahal empat tahun silam Rusia dituding mengintervensi pemilu AS demi memenangkan Trump. "Biden lebih berpengalaman dan lebih bisa diprediksi," kata Putin dalam wawancara dengan televisi Rusia pada 15 Februari 2024.
Meskipun kerap berseberangan dengan Biden, Putin rupanya melihat Biden lebih dekat dengan kepastian dan stabilitas, ketimbang Trump yang lebih melekat dengan ketidakpastian. Faktanya, selama empat tahun memerintah negaranya, Biden memang lebih stabil memerintah ketimbang Trump yang labil sepanjang pemerintahannya, mulai dari formasi kabinet sampai serangan di parlemen yang sampai pada proses pemakzulan.
Putin dan Rusia tidak sendirian menginginkan kepastian dan stabilitas, karena negara-negara seperti China pun menginginkan Amerika yang tidak labil sehingga tak menciptakan gejolak dan ketidakpastian dalam sistem internasional, khususnya ekonomi dan keuangan.
Apalagi semasa pemerintahan Trump, China menghadapi perang dagang yang sengit dengan Amerika Serikat, yang dampaknya dirasakan dunia. Faktor ketidakpastian ini juga dikhawatirkan Uni Eropa, yang sebelum Trump mendapatkan tiket calon presiden dari Partai Republik pun, sudah dibuat gerah oleh pernyataan Trump tentang peran NATO di Eropa.
Bagi Eropa, Biden memang jauh dari kata sempurna, bahkan dianggap lamban mengambil keputusan, termasuk dalam perang Ukraina. Biden juga dianggap tak begitu mendukung perdagangan bebas, karena agresif menyubsidi perekonomian AS, termasuk industri-industri yang berkaitan dengan upaya memerangi perubahan iklim.
Tapi Eropa melihat Biden lebih mencerminkan demokrasi dan keyakinan bahwa Amerika akan terus terlibat di panggung global. Termasuk dalam perang melawan perubahan iklim yang sangat dipedulikan Eropa.
Sebaliknya, Eropa melihat Trump membawa wajah otoriter pada gaya kepemimpinannya dan unilateralisme dalam kebijakan luar negerinya.