Rabu 14 Mar 2018 06:42 WIB

Laporan PBB: Perusahaan Singapura Langgar Sanksi untuk Korut

Perusahaan Singapura diketahui memasok barang-barang mewah ke Korut.

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Korea Utara.
Foto: Flickr
Bendera Korea Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebuah rancangan laporan PBB yang bocor mengklaim, dua perusahaan Singapura telah melanggar sanksi PBB dengan memasok barang-barang mewah ke Korea Utara (Korut). Laporan terakhir telah diserahkan ke Dewan Keamanan PBB dan kemungkinan akan dipublikasikan akhir pekan ini.

Pemerintah Singapura mengatakan bahwa mereka mengetahui kasus tersebut. Pihaknya mulai menyelidiki informasi yang dapat dipercaya tentang pelanggaran yang mungkin terjadi.

Baik PBB maupun Singapura melarang penjualan barang mewah ke Korut. Sanksi global tersebut telah diperkuat selama dua tahun terakhir karena Pyongyang terus menguji coba nuklir dan meluncurkan rudal.

Meskipun ada perkembangan baru-baru ini mengenai rencana pembicaraan antara Amerika Serikat (AS) dan Korut, sanksi PBB terhadap Korut akan tetap berlaku. Pembicaraan antara pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya itu mungkin akan berlangsung akhir tahun ini.

Laporan PBB yang bocor itu menyoroti dua perusahaan yang berbasis di Singapura. Laporan tersebut menuduh kedua perusahaan memasok berbagai barang mewah, termasuk anggur dan minuman keras, kepada Korut. Disebutkan dalam laporan kerja sama mereka terjadi sampai akhir Juli 2017.

Kedua perusahaan tersebut adalah OCN dan T Specialist. Kedua perusahaan itu adalah perusahaan saudara dan memiliki direktur yang sama. Kedua perusahaan tersebut telah membantah melakukan kesalahan yang dimaksud.

Laporan tersebut menyebutkan terdapat transaksi senilai lebih dari 2 juta dolar AS antara 2011dan 2014 yang mengalir dari akun bank yang disiapkan oleh OCN dan T Specialist. Transaksi yang mengalir dari akun bank yang berbasis di Korut, Daedong Credit Bank,itu dikirim ke rekening bank T Specialist di Singapura.

T Specialist telah memberi kesaksian kepada PBB bahwa dana tersebut tidak berasal dari Korut, melainkan dari sebuah perusahaan yang terdaftar di Hong Kong. Juga diakui terkait dengan penjualan sebelum tahun 2012.

Kedua perusahaan tersebut juga dituduh oleh PBB memiliki hubungan jangka panjang dan dekat, termasuk ikatan kepemilikan dengan Bank Komersial Ryugyong. Bank tersebut masuk ke dalam daftar sanksi oleh AS pada 2017. Namun, perusahaan Singapura itu mengatakan, mereka tidak memiliki kepentingan di bank tersebut.

Pengacara mereka, Edmond Pereira, telah mengonfirmasi bahwa mereka sedang diselidiki oleh pihak berwenang Singapura. Namun, mereka berkeras bahwa mereka tidak mempunyai hubungan keuangan, kepentingan, atau hubungan apa pun dengan entitas di Korut. Pereira mengakui bahwa kliennya telah melakukan bisnis dengan entitas Korut sebelum sanksi PBB mulai berlaku.

Dia menambahkan, perusahaan telah mengurangi keterlibatan mereka di Korut, tetapi hal-hal ini memerlukan sedikit waktu. Pengacara itu mengatakan, sebagian dari masalah tersebut adalah sanksi ini diharapkan bisa ditegakkan oleh perusahaan yang sering tidak sadar akan perubahan undang-undang tersebut.

Singapura telah melarang lembaga keuangannya untuk memberikan bantuan keuangan atau layanan untuk memfasilitasi perdagangan dengan Korut. Baru pada November tahun lalu, Singapura melarang perdagangan dengan Korut sepenuhnya. Sebelum itu, beberapa perdagangan diizinkan.

Laporan PBB tersebut mengklaim bahwa beberapa transaksi dalam kasus OCN dan T Specialist tampaknya telah menggunakan sistem keuangan Singapura. Ini juga mengungkapkan, merupakan tanggung jawab negara-negara anggota untuk memastikan bank mereka memiliki pengawasan ketat yang lebih kuat terhadap individu dan perusahaan yang membuka rekening dengan mereka.

BBC menghubungi dua bank Singapura yang disebutkan dalam laporan tersebut. Kedua bank tersebut menolak berkomentar, mengutip undang-undang kerahasiaan perbankan Singapura.

Sementara, Otoritas Moneter Singapura (MAS) mengatakan kepada BBC bahwa pihaknya bekerja sama dengan PBB untuk kasus-kasus ini. "MAS akan mengambil tindakan keras terhadap lembaga keuangan mana pun yang melanggar peraturan yang berkaitan dengan pembiayaan proliferasi," kata MAS dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke BBC.

Otoritas tersebut juga mengatakan, pihaknya berharap agar bank-bank menyadari penggunaan perusahaan yang berkedok multiyurisdiksi, perusahaan tempurung (perusahaanyang aktif, tetapi tidak terlihat mempunyai kegiatan usaha ataupun aset), usaha patungan, dan struktur kepemilikan yang kompleks atau buram.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement