Selasa 24 Apr 2018 16:17 WIB

Pakistan Buka Sekolah Transgender Pertama

Sekolah menawarkan pelatihan di bidang memasak, perancangan busana dan kosmetik

Rep: Marniati/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Pakistan
Bendera Pakistan

REPUBLIKA.CO.ID, LAHORE -- Pakistan membuka sekolah transgender pertamanya di Lahore. Sekolah yang bernamaGender Guardian School ini diperuntukan untuk waria. Pada hari pertama pembukaannya, terdapat 25 orang yang mendaftar.

Dilansir DW, Selasa (24/4), keputusan Pakistan untuk membuka sekolah ini menuai pujian dari aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan guru. Mereka mengatakan ini merupakan inisiatif yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengarusutamakan komunitas yang terpinggirkan.

Sekolah ini merupakan inisiasi sebuah proyek LSM Exploring Future Foundation (EFF). Sekolah menawarkan pelatihan di delapan bidang, termasuk memasak, perancangan busana dan kosmetik. Dan dalam waktu dekat sekolah berencana memperkenalkan pendidikan formal.

"Di masyarakat Pakistan, ada sekolah untuk orang difabel, anak yatim dan kelompok minoritas tetapi tidak ada lembaga untuk orang transgender. Jadi kami memutuskan untuk datang dengan sistem pendidikan yang tepat untuk memberdayakan dan mendidik mereka sehingga mereka bisa mencari nafkah dan memiliki peran yang lebih besar di Pakistan," kata pendiri sekolah, Asif Shahzad.

Sekolah ini baru dibuka pada 21 April lalu.

Shahzad menambahkan sekolah tersebut bertujuan untuk memberikan siswa transgender lingkungan belajar yang aman. Di sekolah ini mereka tidak hanya belajar tetapi juga menerima konseling karir.

"Tujuan utama kami adalah mengakhiri perpecahan di antara orang-orang Pakistan dan meresapi pluralisme dan toleransi di negara ini," katanya.

Menurut Shazad, jika masyarakat dididik dan diberdayakan dengan tepat maka mereka akan terhindar dari profesi yang tidak etis. "Kami akan bekerja untuk mereka sehingga mereka dapat menyingkirkan kegiatan negatif dan dapat dibawa ke arus utama, "katanya.

Ia mengatakan kebanyakan transgender di Pakistan tidak diakui oleh keluarga mereka dan dipaksa berjuang sendiri. "Lebih dari 90 persen orang transgender menghadapi masalah yang sama, bahwa orang tua mereka tidak mengakui mereka. Mereka hidup dengan guru (mentor) mereka, jadi kami belum menghubungi orang tua, kami hanya menghubungi mereka secara langsung melalui guru mereka," kata Shahzad.

Hubungan guru-murid merupakan situasi di mana transgender dilindungi dan didukung oleh mentor mereka. Mentor akan menjaga dan berdiri di samping para transgender pada saat mereka menghadapi krisis di lingkungan sosial.

Seorang guru non-transgender yang mengajar bahasa Inggris dan pendidikan komputer di sekolah tersebut, Eeman Khan mengatakan transgenderadalah orang yang sama seperti manusia lainnya. Mereka layak berada di masyarakat dan menjalani kehidupan normal seperti masyarakat lainnya. Dengan bantuan sekolah ini, ia berharap para transgender dapat mencari nafkah dan diterima di Pakistan.

Khan mengaku bersedia mengajar di sekolah tersebut karena ingin menciptakan kesadaran di antara warga Pakistan bahwa setiap orang setara, termasuk transgender. "Salah satu rintangan utama untuk berubah adalah pola pikir yang sangat mengakar (bahkan di antara orang transgender) bahwa mereka berbeda," katanya.

Ia mengatakan sekolah bertujuan untuk membantu transgender mendapatkan peluang dan berintegrasi ke dalam masyarakat, selain menjadi teladan bagi orang lain di komunitas transgender. "Ini adalah inisiatif pertama untuk komunitas transgender yang terpinggirkan, sehingga akan ada rintangan," tambahnya.

Hal serupa disampaikan oleh guru lainnya, Sanya Abbasi. Menurutnya langkah mendirikan sekolah untuk transgender akan membawa perubahan di Pakistan.

"Saya pribadi percaya bahwa hambatan sosial, keluarga dan ekonomi, dan kesenjangan antara transgender dan orang Pakistan lainnya akan dipersempit karena inisiatif ini, "kata Sanya Abbasi.

Sebagai guru, Abbasi mengaku akan berusaha sebaik mungkin untuk memberdayakan komunitas transgender. "Ketika transgender menerima pendidikan dan pelatihan yang tepat, maka akan membantu mereka mendapatkan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan hidup," kata Abbasi.

Tidak seperti kelompok minoritas agama Pakistan dan orang-orang difabel, transgender tidak mendapat manfaat dari kuota kerja. Mereka juga jarang diterima untuk pekerjaan di organisasi nasional.

Salah seorang siswa di sekolah tersebut,Moon mengatakan keputusannya untu mendaftar di sekolah ini agar dirinya dapat berkontribusi bagiPakistan. "Saya ingin mandiri dan bekerja; jika kami mandiri dan berkontribusi pada negara maka orang akan menerima kami," katanya.

Siswa lain, Arham, mengatakan dia ingin menjadi penata rias, membuka salon dan memberikan kesempatan kerja kepada komunitasnya. "Mereka bisa bekerja di ruang tamu saya daripada mengemis di jalan dan menjadi sumber hiburan bagi orang lain," ujarnya.

Menurut Arham, hanya orang tuanya yang mampu menerima dirinya sebagai manusia. Tetapi orang-orang terdekat lainnya lebih sering mengejek Arham. Ia berharap sekolah ini akan membantu transgender berintegrasi ke dalam masyarakat. "Dengan demikian transgender akan diterima sebagai manusia, " tambah Arham.

Tansgender menghadapi berbagai tantangan di Pakistan yang konservatif. Mereka sering dilecehkan dan dikucilkan oleh masyarakat.

Pada 2016, seorang aktivis transgender, Alisha (23) ditembak tujuh kali dan dilarikan ke Rumah Sakit Lady Reading di Peshawar. Namun nyawa Alisha tidak tertolong karena penanganan yang lamban dari rumah sakit.

Pihak rumah sakit mengaku tidak dapat memutuskan apakah akan menempatkan Alisha pada bangsal laki-laki atau perempuan. Kerabat terdekat Alisha menyebut kematian rekannya karena tindakan diskriminasi.

Upaya konstitusional dan legal perlahan-lahan telah dibuat untuk menjamin hak-hak dasar bagi orang-orang transgender. Namun prakteknya sering kali berjalan lambat.

Komunitas transgender hanya diizinkan untuk memilih dalam pemilihan federal pada 2011. Tahun lalu, mereka diakui sebagai kategori terpisah dalam sensus nasional.

Meskipun secara konstitusional mereka juga telah diberikan hak ekonomi, seperti hak waris. Namun ini jarang dipraktekan. Bahkan kelompok-kelompok agama menolak untuk ikut serta dalam proses pemakaman transgender karena dianggap bertentangan dengan Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement