Rabu 01 Jul 2015 13:16 WIB

Myint Kembali Merdeka Setelah 22 Tahun Menjadi Budak

Rep: lida puspaningtyas/ Red: Taufik Rachman
Sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) WN Myanmar, Laos dan Kamboja yang bekerja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Maluku, Sabtu (4/4).
Foto: Antara/Kementerian Kelautan dan Perikanan
Sejumlah Anak Buah Kapal (ABK) WN Myanmar, Laos dan Kamboja yang bekerja di PT. PBR Benjina tiba di PPN Tual, Maluku, Sabtu (4/4).

REPUBLIKA.CO.ID, TUAL -- Perbudakan masih nyata di muka bumi ini. Mereka diperjualbelikan dan dipekerjakan seenak hati oleh majikannya. Hak asasi mereka sebagai manusia sama sekali tidak dipedulikan.

Hidup menjadi budak tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Myint Naing. Warga asal Myanmar itu akhirnya bisa kembali berkumpul dengan keluarganya setelah 22 tahun meninggalkan rumah, Selasa (1/7).

Saat usianya masih 18 tahun pada 1993, ia diboyong oleh makelar yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri. Karena keluarganya sangat butuh uang, ia akhirnya ikut makelar.

Namun, ternyata ia dijual pada kapten kapal penangkap ikan asal Thailand. "Kalian semua tidak akan pernah pulang. Kalian sudah dijual dan tidak akan ada yang datang menolong," kata kapten kapal tersebut pada hari pertama Myint naik kapalnya.

Myint adalah satu dari orang-orang tidak beruntung yang terjebak di kapal sebagai budak. Bisnis seafood Thailand yang saat itu sedang booming membuat pengusaha penangkap ikan menggunakan buruh migran untuk menghemat biaya operasional.

Sekitar 200 ribu migran itu berasal dari Myanmar, Kamboja, Laos dan Thailand sendiri. Kadang mereka dibayar, namun sering kali tidak sama sekali. Mereka tidak datang karena keinginan sendiri. Melainkan ditipu oleh makelar atau diculik.

Perdagangan manusia ini lestari dalam beberapa dekade demi memenuhi pasokan ikan ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Kapal tempat Myint bekerja secara paksa beroperasi di daerah Tual, Indonesia.

Tak jarang ia dan migran lainnya mendapat perlakukan kasar dan tidak manusiawi dari kapten kapal jika berbuat salah atau bekerja lambat. Semua pekerja tidak boleh sakit atau istirahat. Mereka juga hanya makan nasi dan air laut yang dimasak.

Myint mengaku hanya dibayar 10 dolar AS per bulan dan kadang tidak dibayar sama sekali. Pada 1996, ia muak dan lelah. Ia memutuskan untuk memberanikan diri minta pulang. Namun yang didapatnya adalah pukulan yang meretakan tulang kepala.

Ia kemudian memutuskan melarikan diri dan diselamatkan oleh sebuah keluarga di Indonesia. Mereka menawarinya tempat tinggal, makanan dan pekerjaan di ladang mereka.

Myint mengaku hidupnya membaik setelah itu, namun tetap tak bisa melupakan keluarganya di Myanmar. Ibunya yang tak sempat ia sampaikan salam perpisahan ketika pergi bersama makelar, dan adik kecilnya yang saat itu masih tidak mengerti apa pun.

Setelah delapan tahun hidup di Indonesia, ia memutuskan langkah besar untuk ikut kapal yang menjanjikan kepulangan ke Myanmar. Namun, yang didapatnya kembali kemalangan. Kapten kapal menelantarkan mereka setelah dipaksa bekerja selama sembilan bulan di perairan.

Myint kembali melarikan diri. Ia berlabuh di hutan Tual, Indonesia lagi. Ia kini kapok dan memutuskan untuk hidup sendiri. Ia takut pergi ke polisi ataupun kedutaan Myanmar karena merupakan migran ilegal. Ia juga tak punya akses untuk menghubungi rumahnya.

Ia putus asa. Dalam kesengsaraan, ia mulai merelakan tak melihat lagi ibu dan adiknya. Ia mulai melupakan keinginan untuk pulang.

Pada 2011, secercah harapan menyapanya. Myint pindah ke pulau Dobo, tempat komunitas mantan budak Burma. Ia mendapat teman dan kerabat seperjuangan yang mengerti penderitaannya.

Satu hari di bulan April, pejabat pemerintah Indonesia datang ke Dobo dan membawa beberapa orang untuk bergabung dengan ratusan warga yang telah bebas, termasuk Myint. Mereka akan dipulangkan ke Myanmar, tanah air mereka.

Penerbangan ke Yangon terasa seperti mimpi bagi Myint, yang kini berusia 40 tahun. Ia berhasil menginjakan kaki kembali di desa kecilnya. Belum sadar Myint dari fatamorgana antara mimpi dan nyata, seorang wanita berlari ke arahnya dan memeluknya.

"Kakak! Akhirnya kau kembali," kata adik kecilnya yang kini sudah besar. "Kita tak butuh uang, kita hanya butuh keluarga," tambahnya. Beberapa menit kemudian, ia melihat sosok dengan wajah yang tak asing, berlari yang arahnya.

Ibunya memeluknya erat sambil menangis. Myint tak kuasa menahan semua gejolak perasaan dalam dirinya. Ia kini percaya ia telah pulang, ke pangkuan ibunya di tanah airnya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement