Ahad 23 Apr 2017 09:31 WIB

Pemilu Prancis Digelar dengan Penjagaan Ketat

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas berjaga usai serangan terjadi di kawasan Champs-Élysées, Paris, Prancis, (20/4).
Foto: EPA
Petugas berjaga usai serangan terjadi di kawasan Champs-Élysées, Paris, Prancis, (20/4).

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemilihan umum putaran pertama di Prancis digelar, Ahad (23/4). Pemilu digelar dengan penjagaan ketat oleh aparat.  Pemerintah Prancis mengerahkan 50 ribu polisi dan militer untuk melindungi 70 ribu tempat pemungutan suara. Sebanyak 7.000 personel patroli juga diterjunkan.

Penjagaan dilakukan menyusul insiden serangan teroris ke petugas keamanan di Paris beberapa hari lalu. Pada Jumat lalu seorang pria bersenjata membunuh seorang perwira polisi di Paris pada Kamis.

Pelaku ditembak mati oleh pasukan keamanan.  Akibat insiden tersebut, kampanye penutup kandidat sayap kanan Marine Le Pen dan kandidat moderat Francois Fillon dibatalkan pada Jumat.

Sementara kandidat independen Emmanuel Macron memilih tetap berkampanye dan menyuarakan sikap antiimigran. Dia bahkan berjanji untuk memperketat penjagaan.

Mantan bankir investasi dan menteri keuangan itu mengatakan, setelah serangan, penting untuk menyatukan semangat tanggung jawab dan menanggapi peristiwa tragis itu dengan tanggapan konkret.

Ia berjanji jika terpilih nanti akan membentuk unit khusus yang bekerja sepanjang waktu untuk mengatasi ISIS dan terorisme. Marcon juga menyerukan melawan terorisme adalah tantangan moral bagi peradaban.

Tempat pemungutan suara putaran pertama ini juga dibuka di wilayah Samudera Atlantik di Saint Pierre dan Miquellon. Selain itu juga di Guyana Amerika Selatan dan Guadelope Karibia. Pemilih yang berada di luar negeri bisa menggunakan hak suaranya di kedutaan setempat.

Baca juga,  Penyerang Polisi Prancis Teridentifikasi.

Sementara Le Pen menuduh pemerintah Prancis terlalu lunak dalam menghadapi ekstremisme. Ia meminta agar rang-orang asing yang memiliki kaitan dengan ekstremisme atau dapat mengganggu keamanan nasional diusir.

"Ideologi Islamis, Salafi tidak memiliki hak untuk berada di Prancis, dan harus dilarang. Para pengkhutbah kebencian harus diusir dan masjidnya ditutup," katanya seperti dikutip Independent, Ahad (23/4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement