Rabu 08 Nov 2017 17:14 WIB

Dua Gerakan Radikal Ini Sumber Terorisme di Inggris

Rep: dyah ratna meta novia/ Red: Budi Raharjo
Poster kelompok Neo Nazi
Foto: ABC News
Poster kelompok Neo Nazi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Kajian Eropa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakkir mengatakan, pendekatan multikulturalisme di Inggris gagal menyatukan kelompok imigran dengan warga native Inggris. Akibat rasa teralienasi ini makanya muncul bibit radikalisme.

"Gagalnya multikulturalisme mendorong munculnya gerakan radikal Islam dan gerakan radikal ultra nasionalisme neo Nazi. Kedua gerakan ekstrim ini mengancam Inggris," katanya di Jakarta, Rabu, (8/11).

Gerakan radikal Islam, terang Amin, ekstrem antibarat, anti-LGBT. Sedangkan gerakan ekstremis kanan ultranasionalisme neo Nazi merupakan gerakan anti-Islam, antiimigran, antiorang asing. Kelompok radikal Islam muncul akibat reaksi ultra nasionalisme neo Nazi. Keduanya menjadi sumber masalah radikalisme dan terorisme di Inggris.

Inggris dan negara-negara lain mengira dengan runtuhnya komunisme maka hanya akan ada demokrasi liberal. Ternyata hal itu salah, dengan runtuhnya komunisme malah muncul kelompok-kelompok ekstremis radikal agama maupun ultra nasionalis. Dulu aksi ekstremisme diwujudkan di jalanan, sekarang dilakukan via internet.

Ujaran kebencian di Inggris sangat tinggi naik 18 persen. Sejak 2014 terdapat 5.250 kasus ujaran kebencian. Baik ujaran kebencian anti-Islam maupun ujaran kebencian antibarat.

Pemerintah Inggris, terang Amin, harus menyusun kebijakan yang bisa melawan radikalisme dan ekstremisme. Ini bisa dilakukan dengan pendekatan integrasi asimilasi yang sedikit dipaksakan. Kelompok imigran dari mana saja harus mengikuti aturan dan budaya di Inggris. 

Kebijakan ini disebut muscular multiculturalism dengan cara dipaksakan. "Anak-anak imigran misalnya harus sekolah bercampur dengan anak-anak native Inggris. Para imigran harus mengikuti aturan dan kebudayaan negara di mana mereka tinggal, mereka harus berasimilasi dengan native Inggris," ujar Amin.

Dengan pengintegrasian yang dipaksakan ini diharapkan para imigran tidak merasa teralienasi dari native Inggris. Penyatuan ini akan mengurangi radikalisme dan ekstrimisme. "Sebenarnya Prancis sudah menerapkan kebijakan asimilasi yang dipaksakan ini. Memang Inggris cukup terlambat menyadari," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement