Jumat 06 Jul 2012 21:26 WIB

Kapan Revolusi Berangkat ke Tanah Suci? (1)

Kota Suci Makkah, Arab Saudi.
Foto: contructionweekonline.com
Kota Suci Makkah, Arab Saudi.

Oleh: Novriantoni Kahar*

Setahun lalu, majalah Foreign Policy memuat tulisan Madawi Al-Rashed yang yakin mengatakan bahwa Arab Saudi sudah sangat matang untuk perubahan (ripe for change).

“Image negara kaya nan tentram, dengan masyarakat yang apolitis kini telah berubah,” kata penulis buku Contesting Saudi State: Islamic Voice from a New Generation (2007) itu.

Saudi juga punya problem ekonomi, demografi, sosial dan politik yang kurang lebih sama dengan negara-negara Arab lain. “Tak ada alasan untuk percaya bahwa Saudi akan kebal dari demam protes yang menyapu kawasan Timur Tengah,” tandas Madawi.

 

Beberapa data dikemukakan; 40% penduduk berumur 20-24 tahun pengangguran, 80% perempuan sangat terkungkung dan tidak bekerja. Dulu, keteterbelakang pendidikan, tertekannya aspirasi, buruknya infrastuktur, dan luka sosial yang menganga, bisa diatasi minyak.

Kini, minyak tak lagi mampu menyumbat aspirasi dan problem politik, ekonomi, dan sosial. Paket tunjangan sosial 36 miliar dolar yang dikucurkan Raja Abdullah setahun lalu (23/2/2011) merupakan upaya vulgar untuk memalingkan pemuda Saudi dari daya pikat revolusi. Namun begitu, hidup konon tak hanya cukup dengan roti. Ada marwah diri yang juga hendak diunggah.

 

Bagi Madawi, untuk menangkal bujuk rayu revolusi, kerajaan harus melakukan reformasi politik serius. Konstitusionalisme kerajaan, pembatasan wewenang lingkaran internal istana, regulasi soal suksesi (mengikuti garis vertikal atau horizontal), pemilihan parleman, dan pembukaan ruang politik bagi kerja-kerja civil society, merupakan beberapa tuntutan penting saat ini.

Sambil menakut-nakuti Amerika, sekutu abadi Saudi, Madawi berkata, “Kini masanya Amerika untuk berpihak ke masa depan Saudi, bukan mengenang masa lalunya sebagai tambang minyak, konsumen barang dan jasa, dan penandatangan kontrak senjata. (Yes, It Could Happen Here: Why Saudi Arabia is ripe for revolution, Foreign Policy, 28 Februari 2011).

Seberapa mungkin revolusi akan berangkat ke Tanah Suci? Saya sendiri masih berpegang pada teori jumlukiyyah; gabungan jumhuriyyah (republik) dan mamlakiyyah (kerajaan) yang dipopulerkan sosiolog Mesir, Saad Eddin Ibrahim.

Hanya negara-negara berbentuk republik namun tabiat sama atau malah lebih buruk dari kerajaan-lah yang paling rentang tersapu gelombang revolusi Timur Tengah.

Karenanya, tulisan Madawi perlu dibaca sebagai opini seorang aktivis, yang menulis dan mengajar di London, dengan tujuan mengusik kemapanan Riyadh dan Washington. Keyakinan saya lebih kuat lagi setelah membaca buku Madawi sendiri, Contesting Saudi State: Islamic Voices from a New Generation (2007).

 

*Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement