Senin 07 May 2018 08:03 WIB

OKI Diharapkan Tekan Myanmar Soal Isu Rohingya

OKI diminta bisa merangkul Cina dan Rusia terkait penyelesaian krisis Rohingya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nidia Zuraya
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)
Foto: AP/Bernat Armangue
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Direktur Jenderal Perhimpunan Rohingya Arakan Union Wakar Uddin berharap Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dapat melanjutkan tekanannya terhadap Pemerintah Myanmar terkait isu Rohingya. Ia menilai OKI memiliki cukup banyak pengaruh guna mempercepat proses repatriasi pengungsi.

"OKI adalah harapan kami dan badan ini adalah pengaruh yang lebihluas," ujar Uddin pada Ahad (6/5), dikutip laman Anadolu.

Menurutnya OKI dapat memberi pengaruh kepada AS, Inggris, Prancis, Cina dan negara-negara lainnya. Namun Uddin berharap OKI dapat merangkul Cina dan Rusia terkait penyelesaian krisis Rohingya.

Uddin secara khusus juga menyinggung perhelatan Konferensi TingkatMenteri (KTM) OKI ke-45 yang digelar di Dhaka, Bangladesh, pada 5-6 Mei. Uddin menilai sesi khusus KTM OKI di Dhaka dapat memberikan dukungan kepada Rohingya sehigga etnis minoritas ini dapat mengekspresikan perjuangan politik, kemanusiaan, dan hak asasi manusia mereka.

Dalam penyelenggaraan KTM OKI ke-45, para delegasi sepakat untuk membentuk komite perlindungan etnis Rohingya. Pembentukan komite ini diusulkan oleh Gambia.

"Kami bersama dengan negara lainnya berkumpul dan membentuk komite semacam ini untuk memberikan perlindungan dunia terhadap Rohingya," kata Menteri Luar Negeri Bangladesh, AH Mahmoud Ali, yang juga sebagai Ketua Dewan OKI saat ini.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi pada Agustus tahun lalu. Pasukan Myanmar yang mengklaim hanya memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orangyang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal.

Cukup banyak pengungsi Rohingyadi Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine. Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu.

Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement