Ahad 13 Jan 2019 18:40 WIB

5.000 Pengungsi Rohingya Terancam oleh Pemerintah Myanmar

Ribuan warga Rohingya tinggal di tenda penampungan sejak kerusuhan pada 2017

Rep: Fira Nursyabani/ Red: Nidia Zuraya
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh,

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pemerintah Myanmar telah mendirikan bangunan di tanah tak bertuan di wilayah perbatasannya dengan daerah Ghumdhum, Bangladesh. Bangunan tersebut akan menghalangi aliran kanal Tambru Khal, yang mengancam lebih dari 5.000 pengungsi Rohingya yang tinggal di Ghumdhum dengan bencana banjir.

Pemimpin Rohingya, Dil Mohammad, mengatakan kepada kantor berita Anadolu, pembangunan itu adalah taktik baru tentara Myanmar untuk mengusir warga Rohingya yang tinggal di sana. Di tempat itu, ribuan warga Rohingya tinggal di tenda penampungan sementara sejak kerusuhan pada 2017.

"Kami tinggal di sini dengan harapan situasi akan tenang dan kami akan mendapatkan kembali hak kewarganegaraan kami dan kembali ke tempat kelahiran asli kami, Rakhine," kata Mohammad.

Sejak awal, kata dia, pasukan Myanmar telah berusaha membuat warga Rohingya panik, sehingga mereka terpaksa meninggalkan tempat kelahiran mereka.

Kamal Ahmed, wakil komisaris Cox's Bazar di Bangladesh, telah mengirim surat kepada sekretaris kabinet Myanmar pada Selasa (8/1) lalu. Ia menyatakan keprihatinan atas pekerjaan konstruksi dan kemungkinan konsekuensinya.

“Pemerintah Myanmar tidak dapat mendirikan struktur apa pun di tanah tak bertuan itu. Jika bangunan itu dibangun, Rohingya akan menghadapi penderitaan karena seluruh wilayah akan tenggelam,” kata Ahmed kepada Daily Star, Rabu (9/1).

Letnan Kolonel Monzurul Hasan Khan, Komandan Batalyon 34 Penjaga Perbatasan Bangladesh, mengatakan ia secara pribadi telah mengunjungi tempat itu belum lama ini. Menurut dia, tentara Myanmar mengaku sedang mendirikan pagar kawat berduri, bukan struktur beton.

"Pagar kawat berduri jenis ini juga dipasang di garis perbatasan lain antara Bangladesh dan Myanmar," kata Khan. Ia menambahkan, tidak mengetahui konstruksi struktur beton apa pun.

"Kami baru saja mengetahui tentang pembangunan seperti itu melalui media, mari kita periksa masalah ini," tambah dia.

Mahfuzur Rahman Akand dari Universitas Rajshahi mengatakan sangat disayangkan jika Myanmar berusaha untuk melemahkan kehidupan para pengungsi Rohingya bahkan di luar wilayah negara.

"Tidak ada negara yang dapat melakukan pekerjaan konstruksi di tanah tak bertuan tanpa perjanjian bilateral antara negara-negara yang bersangkutan," ungkap Akand.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang semakin meningkat akan serangan militer sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012.

Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah melarikan diri dari Myanmar. Mereka menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan operasi kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas itu pada Agustus 2017.

Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Ontario International Development Agency (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan Myanmar. Dalam laporan yang berjudul "Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terungkap" itu, diketahui lebih dari 34 ribu warga Rohingya dilemparkan ke dalam api dan lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli.

Sekitar 18 ribu perempuan dan anak perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115 ribu rumah milik warga Rohingya dibakar dan 113 ribu lainnya dirusak.

PBB juga telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan (termasuk bayi dan anak kecil), dan pemukulan brutal yang dilakukan oleh pasukan Myanmar. Dalam sebuah laporan, penyelidik PBB mengatakan pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement