Kamis 12 Jul 2018 15:06 WIB

Israel Geram Irlandia Ingin Larang Produk Wilayah Pendudukan

Irlandia merancang undang-undang pelarangan impor produk dari wilayah pendudukan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera Israel (ilustrasi)
Foto: Antara
Bendera Israel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah Israel mengecam rancangan undang-undang (RUU) pelarangan impor atau penjualan barang serta jasa dari wilayah pendudukan di seluruh dunia yang diajukan Senat Irlandia. RUU itu dinilai bertujuan memboikot produk-produk Israel.

"Ini adalah inisiatif boikot anti-Israel yang melukai kemungkinan dialog antara Israel dan Palestina," kata Kementerian Luar Negeri Israel dalam sebuah pernyataan pada Rabu (11/7), dikutip laman Anadolu Agency.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel Emmanuel Nahson menilai, RUU tersebut akan memiliki dampak negatif pada proses diplomatik di Timur Tengah. Di sisi lain, RUU sebenarnya mengancam mata pencaharian penduduk Palestina.

"Hal yang tidak masuk akal dalam inisiatif Senat Irlandia adalah bahwa itu akan membahayakan mata pencaharian banyak warga Palestina yang bekerja di zona industri Israel yang terkena dampak boikot," kata Nahson, dikutip Aljazirah.

Kendati demikian, ia tak menyatakan apa langkah yang akan ditempuh Israel merespons diloloskannya RUU itu oleh Senat Irlandia. "Israel akan mempertimbangkan tanggapannya sesuai dengan perkembangan undang-undang," ucapnya.

Senat Irlandia telah memberi dukungan terhadap RUU pelarangan impor atau penjualan barang dari wilayah pendudukan, termasuk wilayah pendudukan Palestina, pada Rabu (11/7). RUU bertajuk "The Control Economic Activity (Occupied Territories) Bill 2018" dikemukakan oleh Senator Independen Iralandia, Frances Black, dan ditandatangani bersama Senator Alice-Mary Higgins, Lynn Ruane, Colette Kelleher, John D Golan, Grace O'Sullivan, dan David Norrison pada 24 Januari tahun ini. RUU mendapat dukungan 25-20 di Senat Irlandia.

Dalam RUU itu dijelaskan, impor atau upaya untuk mengimpor dari wilayah pendudukan akan dianggap sebagai kejahatan. Adapun ancaman hukumannya yakni penjara selama lima tahun atau denda sebesar 250 ribu euro.

RUU tersebut akan dibawa ke majelis rendah parlemen untuk dibahas kembali. Jika disahkan, RUU tersebut harus melalui beberapa tahap peninjauan dan amandemen sebelum ditandatangani menjadi undang-undang.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina Saeb Erekat menyambut RUU tersebut. Ia menilai, apa yang telah dilakukan Senat Irlandia merupakan langkah bersejarah.

"Hari ini Senat Irlandia telah mengirim pesan yang jelas kepada komunitas internasional dan khususnya ke seluruh Uni Eropa bahwa hanya berbicara solusi dua negara tidak cukup tanpa mengambil langkah konkret," ujarnya dalam sebuah pernyataan.

Terdapat 150 permukiman ilegal Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Permukiman tersebut menjadi tempat tinggal bagi 750 ribu warga Israel. Di wilayah itu terdapat pula kegiatan bisnis.

Tahun lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Zeid bin Raad al-Hussein memperingatkan 130 perusahaan Israel agar menghentikan kegiatan atau aktivitas bisnisnya di wilayah yang diduduki, mencakup Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. Jika peringatan tersebut diabaikan, al-Hussein mengancam akan memasukkan seluruh perusahaan tersebut ke dalam daftar hitam PBB.

Sebanyak 130 perusahaan Israel yang dibidik PBB tersebut berbisnis dalam berbagai bidang, antara lain produksi makanan, farmasi, serta manufaktur. Kendati demikian, al-Hussein tak merilis daftar nama perusahaan Israel yang terancam masuk dalam daftar hitam PBB tersebut.

Selain perusahaan Israel, terdapat pula perusahaan-perusahaan asing yang menjalankan bisnisnya di wilayah pendudukan Palestina. Awal tahun ini, Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM telah merilis laporan tentang perusahaan-perusahaan yang berbisnis di wilayah pendudukan Palestina. Dalam laporannya mereka menyatakan telah melakukan tinjauan awal terhadap 321 perusahaan dan telah mengidentifikasi 206 orang yang melakukan kegiatan bisnis di permukiman Israel di Tepi Barat.

Menurut PBB, dari semua perusahaan yang diperiksa, 143 di antaranya berbasis di Israel dan 22 lainnya berasal dari Amerika Serikat (AS). Adapun 41 perusahaan lainnya berasal dari 19 negara, mayoritas Eropa, termasuk Jerman, Belanda, Prancis, dan Inggris.

“Pelanggaran HAM yang terkait dengan permukiman (ilegal) sangat luas dan menghancurkan, mencapai semua segi kehidupan Palestina, termasuk pembatasan ruang gerak, kebebasan beragama, pendidikan, dan kepemilikan tanah,” kata Komisioner Tinggi PBB untuk HAM dalam laporannya.

“Bisnis memainkan peran sentral dalam melanjutkan pembentukan, pemeliharaan, dan perluasan permukiman Israel. Mereka harus mempertimbangkan apakah mungkin untuk beroperasi di lingkungan demikian dengan cara yang memenuhi kewajibannya untuk menghormati HAM,” kata laporan PBB tersebut menambahkan

Laporan Komisi HAM PBB tersebut merupakan hasil sebuah resolusi yang diterbitkan Dewan HAM PBB pada Maret 2016. Resolusi tersebut meminta semua data atau keterangan memerinci perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam daftar kegiatan tertentu dan secara langsung didukung atau diuntungkan oleh permukiman ilegal Israel. Adapun kegiatan tersebut meliputi penyediaan mesin atau bahan konstruksi, perlatan pengawasan dan keamanan, serta penyediaan layanan perbankan dan keuangan.

Sejak 2014, boikot internasional terhadap produk yang diproduksi di permukiman Israel di wilayah pendudukan telah mengumpulkan momentum. Beberapa departemen bea cukai Uni Eropa, misalnya, sudah mulai menandai produk yang dibuat di permukiman Israel sehingga hal tersebut dapat dilihat oleh para konsumen di Benua Biru.

Walaupun telah banyak dikecam dunia internasional, Israel hingga saat ini tetap melanjutkan pembangunan permukiman dan infrastruktur di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. PBB telah menyatakan bahwa semua aktivitas permukiman Israel di wilayah pendudukan adalah ilegal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement