Jumat 06 Jul 2012 19:54 WIB

AS Serukan Sanksi Lebih Keras terhadap Bashar

Pendukung rezim Suriah memegang poster Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Foto: Muzaffar Salman/AP
Pendukung rezim Suriah memegang poster Presiden Suriah Bashar Al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Seorang pejabat Amerika Serikat menyebutkan kalau Gedung Putih sedang berusaha memimpin seruan agar PBB menjatuhkan sanksi lebih keras terhadap Presiden Suriah Bashar al Assad dan pengikut-pengikutnya. 

Pejabat, yang tidak disebutkan namanya itu, mengungkapkan hal tersebut bertepatan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton ke Paris untuk menghadiri pertemuan "Sahabat Sahabat Suriah". 

"Kami percaya sebagian besar negara yang hadir di Paris berpikir bahwa sanksi ekonomi pada Bashar harus termasuk dalam Bab 7," kata pejabat itu mengacu kepada suatu klausul dalam piagam PBB.

Bab 7 Piagam PBB adalah aturan PBB yang diantaranya memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk memberi sanksi dan menggunakan kekuatan militer demi memulihkan perdamaian dan keamanan Internasional.

"Banyak negara di Paris telah mempunyai sanksi-sanksi mereka sendiri namun menyatukan seluruh sanksi tepat itu penting. Ini adalah argumen yang akan terus kami sampaikan kepada Rusia dan China."

Pertemuan "Sahabat Sahabat Suriah" dijadwalkan dihadiri oleh sedikitnya 80 negara serta organisasi non pemerintah dan perwakilan dari oposisi Suriah.

Para pejabat AS menyambut baik penyusunan cetak biru awal pekan ini oleh oposisi Suriah dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan dibawah pengawasan liga Arab di Kairo.

Mereka menyusun sebuah rencana jelas untuk masa-masa transisi pasca-era Bashar di Suriah.

Mereka juga menyusun dasar bagi konstitusi masa depan dan sistem pemrintahan bagi negara Arab itu, yang telah diperintah oleh Bashar al-Assad dan keluarganya serta Partai Baath selama beberapa dasawarsa.

Menurut sebuah dokumen, segera setelah Bashar al Assad turun sebuah pemerintah sementara baru akan segera dibentuk untuk memulai proses transisi.

Pemerintah baru itu kemudian akan membentuk sebuah badan legislatif yang bersifat sementara untuk mengerjakan konstitusi baru dan menggelar pemilihan umum dalam waktu setahun.

Pasca-pemilihan umum, pemerintah yang baru akan menggelar referendum bagi konstitusi itu. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement