Selasa 02 Apr 2013 13:34 WIB

Narsisme Paman Sam

Patungperunggu Saddam Husein saat dirobohkan
Foto: AP
Patungperunggu Saddam Husein saat dirobohkan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan/ Wartawan Senior Republika

Foreign Affairs, jurnal kebijakan luar negeri paling berpengaruh, mempublikasikan 25 artikel retrospektif dari para kontributornya, tapi tidak satu ulasan pun ditulis orang Irak. New York Times sedikit lebih baik, dengan menampilkan satu artikel karya penulis Irak dari enam tulisan retrospektif yang dipublikasikan.

New Republic, koran penting yang diterbitkan kelompok liberal, menerbitkan delapan artikel retrospektif yang ditulis orang AS, berbicara tentang peran Paman Sam di Irak dan untuk konsumsi publik AS. Foreign Affairs bekerja sama dengan Rand Corporation mengundang 20 partisipan dalam diskusi panjang tentang apa pelajaran yang harus diambil AS dalam invasi ke Irak. Namun, tidak satu pun peserta diskusi berasal dari Irak.

Koran-koran besar lainnya, juga televisi kabel, berlomba menampilkan cerita dari Irak. Mereka mewawancarai pejabat pemerintah dan warga Irak, yang semuanya menyuarakan kepuasan atas ‘kolonialisme’ Paman Sam di tanah mereka.

Ada juga yang berupaya fair, dengan menampilkan ketidakpuasan terhadap invasi dan hilangnya kepercayaan terhadap AS setelah 10 tahun pendudukan. Beberapa televisi kabel bahkah mengekspos kekhawatiran rakyat Irak akan masa depan negeri mereka.

Namun, semua berita tentang Irak seolah terselimut isu akan adanya intervensi AS di Suriah dan kunjungan Presiden Barrack Obama ke Israel. Akibatnya, opini publik AS terhadap peran negaranya selama 10 tahun di Irak relatif tidak diketahui.

Lynch menyebut semua ini sebagai strategic narcissism. Menurut Lynch, narsisme seperti ini bukan sesuatu yang baru dalam hubungan AS dengan negara-negara lain. Sebagai negara adidaya, AS selalu punya cara menutupi kegagalan di Irak.

Dalam strategic narcissism, gagasan yang dijalan AS adalah aspek paling penting dari setiap perkembangan kebijakan luar negeri. Ini tidak hanya berlaku di Irak, tapi juga di Mesir, Suriah, dan ketika AS menghadapi Arab Spring.

Pada masa lalu, strategic narcissism bertanggung jawab atas bencana besar kebijakan luar negeri AS, yaitu kekalahan di Perang Vietnam. Saat itu, menurut mantan menhan Robert McNamara, elite-elite kementerian luar negeri AS lebih suka melihat Ho Chi Minh sebagai boneka agresif komunis Cina dan Uni Soviet, ketimbang nasionalis Vietnam.

Akibatnya, AS terus-menerus meyakinkan publik akan pentingnya Perang Vietnam untuk membendung komunisme. Washington seolah menutup mata pada kenyataan di lapangan bahwa orang Vietnam berperang untuk menyatukan negeri mereka yang terpecah secara ideologis.

“Pelajaran dasar dari semua ini adalah; pahami lawan Anda,” ujar McNamara kepada New York Times saat diwawancarai pada 1997. “Kami tidak memahami orang Bosnia. Kami tidak memahami orang Cina, dan kami tidak mengerti orang Iran.”

Dalam kasus Irak, pembuat kebijakan lebih suka mendengarkan Ahmad Chalabi, bankir kaya dan pembangkang pemerintahan Saddam Hussein, ketimbang melakukan kalkulasi politik sendiri. Kepada pers AS, Chalabi mengatakan dirinya yakin pasukan AS akan disambut dengan bunga dan permen ketika memasuki Irak.

Rakyat Irak, masih menurut Chalabi, akan menyambut pasukan AS sebagai awal bagi de-Baathifikasi dan de-Sunnifikasi. Namun, Chalabi tidak menyebut bahwa kehadiran AS akan mempercepat pembangunan panggung konflik sektarian paling berdarah dalam sejarah Irak.

Figur lain yang mempengaruhi keputusan AS menginvasi Irak adalah Bernard Lewis, sejarawan Islam terkemuka dan Zionis paling bersemangat. Seperti kebanyakan orang Yajudi, Lewis memiliki pandangan neokonservatif tentang Arab. Ia menggeluti karier akademiknya selama enam dekade, tapi tak sehari pun pernah menginjakan kaki di Irak.

                                                                     ***

Setelah sukses menggulingkan Saddam Hussein, dan menghukumnya, AS menjadi lebih narsis. Washington, serta kroninya, menyebut diri telah mengakhiri kekuasaan diktator paling kejam dan membebaskan rakyat Irak dari ketakutan. Lebih dari itu, AS sesumbar akan membangun negara demokratis yang akan menjadi contoh bagi seluruh wilayah Timur Tengah, serta menguatkan tekanan Washington terhadap Iran dan Suriah.

Lebih dari itu, penggulingan Saddam akan membuat AS memiliki sekutu yang dapat diandalkan di jantung Timur Tengah untuk beberapa generasi ke depan. Bahkan, AS sempat menyebut Irak sebagai domino demokrasi pertama di dunia Arab.

Para perencana perang AS bukan tidak pernah tahu bahwa Baathifikasi yang akan mereka jalankan akan mencemplungkan Irak ke konflik sektarian dan kemungkinan munculnya rezim anti-AS dan Israel. Namun, mereka membuang semua nasihat itu dan menyebut para pakar soal Arab terlalu Arabist, dan terlalu bersimpati kepada masyarakat Arab yang diteliti.

Semua prediksi itu menjadi kenyataan. Bagi populasi Sunni, AS tidak melakukan apa-apa selain menggulingkan Saddam dan menyerahkan Irak ke Iran. Sebagai mayoritas, Syiah merasa layak berkuasa di Irak, dan para pemimpinnya lebih suka mendengarkan nasihat para mullah di Tehran, ketimbang taat pada keinginan Washington.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement