REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia tidak berniat mengirim pasukan lebih banyak ke Ukraina. Ini disampaikan Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov, Sabtu (29/3).
"Kami benar-benar tidak ada niat -atau kepentingan- untuk melintasi perbatasan Ukraina," kata Lavrov kepada stasiun televisi Rusia.
Namun, kata dia, Rusia siap untuk melindungi hak-hak warga pengguna bahasa Rusia, merujuk pada apa yang dilihat Moskow sebagai ancaman terhadap kehidupan rekan senegara di timur Ukraina sejak Viktor Yanukovich digulingkan sebagai presiden.
Barat menerapkan sanksi terhadap Rusia, termasuk larangan visa bagi beberapa orang dekat Putin, setelah Moskow mencaplok Krimea menyusul referendum yang berakhir dengan penyatuan ke Federasi Rusia, dan oleh Barat dianggap tidak sah.
Barat mengancam akan menerapkan sanksi lebih keras yang menyasar ekonomi Rusia yang tengah meredup jika Moskow mengirim lebih banyak tentara ke Ukraina.
Sebagai tanda bahwa Putin siap memperbaiki hubungan Timur-Barat, ia melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden AS Barack Obama pada Jumat untuk membicarakan usulan diplomatik AS bagi Ukraina.
Menurut Gedung Putih, Obama mengatakan kepada Putin bahwa Rusia harus menarik mundur pasukannya dan tidak bergerak lebih jauh ke Ukraina.
Sementara Kremlin menyebutkan Putin telah menyatakan akan "mengkaji langkah yang mungkin yang bisa dilakukan masyarakat internasional untuk membantu menstabilkan situasi," serta mengatakan bahwa menteri luar negeri kedua negara akan membicarakan masalah ini lebih jauh.
Sidang Umum PBB pada Kamis meloloskan resolusi tidak mengikat yang menyatakan tidak sah referendum Krimea awal bulan ini yang kemudian memisahkan diri dari Ukraina, dalam pemungutan suara yang oleh negara-negara Barat dikatakan menyoroti pengucilan Rusia.
Baik Rusia maupun Barat saling tuduh telah menggunakan ancaman untuk mempengaruhi pemungutan suara.