Ahad 21 May 2017 11:07 WIB

Unit 180, Pasukan Siber Korea Utara yang Ditakuti Negara Barat

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ilham
Peretas. Ilustrasi
Foto:

Periset keamanan siber juga mengatakan, mereka telah menemukan bukti teknis yang menghubungkan Korea Utara dengan serangan global ransomware WannaCry. Serangan itu telah menginfeksi lebih dari 300 ribu komputer di 150 negara bulan ini.

Inti tuduhan terhadap Korea Utara adalah kaitannya dengan kelompok peretas Lazarus yang diduga telah melakukan pencurian 81 juta dolar AS tahun lalu di bank sentral Bangladesh. Kelompok ini juga dituduh melakukan serangan siber di studio Sony di Hollywood pada 2014.

Namun, tidak ada bukti konklusif yang didapatkan dan tidak ada tuntutan pidana yang diajukan. Korea Utara juga membantah berada di balik serangan Sony dan bank sentral Bangladesh.

Departemen Pertahanan AS mengemukakan sebuah laporan yang berkaitan dengan serangan siber Korea Utara kepada Kongres tahun lalu. Korea Utara kemungkinan memandang serangan siber sebagai serangan yang hemat biaya, dapat diandalkan, dan sedikit risiko mendapatkan serangan balasan.

"Korea Utara melakukan serangan siber melalui negara-negara ketiga untuk menutupi asal-usul serangan tersebut dan menggunakan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi mereka," kata Wakil Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Ahn Chong-ghee.

Selain pencurian di bank sentral Bangladesh, Pyongyang juga diduga melakukan serangan terhadap bank-bank di Filipina, Vietnam, dan Polandia. Pada Juni tahun lalu, polisi mengatakan Korea Utara telah membobol lebih dari 140 ribu komputer di 160 perusahaan dan lembaga pemerintah Korea Selatan.

Negara itu menanam kode berbahaya sebagai bagian dari rencana jangka panjang untuk melakukan serangan siber besar-besaran terhadap pesaingnya. Korea Utara juga diduga melakukan serangan siber terhadap operator reaktor nuklir Korea Selatan pada 2014. Menurut Simon Choi, seorang peneliti keamanan senior di sebuah perusahaan antivirus Hauri Inc yang berbasis di Seoul, serangan itu dilakukan dari Cina.

"Kemampuan mereka meningkat dengan mantap seiring berjalannya waktu, dan kami menganggapnya sebagai ancaman yang mampu menimbulkan kerusakan signifikan pada jaringan pemerintah AS," kata pendiri perusahaan keamanan CrowdStrike Inc, Dmitri Alperovitch.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement