Jumat 30 Jun 2017 10:45 WIB

AS Rencanakan Penjualan 1,42 Miliar Dolar Senjata ke Taiwan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Esthi Maharani
Senjata api (Ilustrasi)
Senjata api (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) merencanakan penjualan senjata ke Taiwan senilai 1,42 miliar dolar AS. Rencana ini merupakan rencana penjualan senjata pertama ke Taiwan di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump dan sebuah langkah yang akan memicu kemarahan Cina.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert mengatakan pemerintah telah mengajukan tujuh rencana penjualan senjata kepada Kongres pada Kamis (27/6). "Sekarang nilainya sekitar 1,42 miliar dolar AS," kata Nauert.

Menurutnya, paket senjata yang dijual termasuk radar peringatan dini, rudal anti-radiasi dengan kecepatan tinggi, torpedo, dan komponen-komponen rudal. Nauert menjelaskan, penjualan tersebut menunjukkan dukungan AS untuk kemampuan pertahanan diri Taiwan, namun tidak ada perubahan pandangan terkait kebijakan "satu Cina" yang telah lama dihormati oleh AS.

Sebelumnya mantan Presiden Barack Obama juga pernah mengumumkan penjualan senjata senilai 1,83 miliar dolar AS ke Taiwan pada Desember 2015. Paket penjualan itu termasuk dua frigat angkatan laut, rudal anti-tank, dan kendaraan pengangkut amfibi.

Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan, paket persenjataan baru dari AS akan meningkatkan kemampuan tempur dan kemampuan pertahanan. "Kami akan secepat mungkin mendiskusikan dengan Amerika Serikat mengenai pembelian, durasi, jumlah dan rincian lainnya, dan merencanakan anggaran tindak lanjut," kata Kementerian tersebut dalam sebuah pernyataan.

Ketua Komite Urusan Luar Negeri Kongres dari Partai Republik, Ed Royce, menyambut baik penjualan senjata yang telah lama tertunda itu. "Penjualan senjata defensif berdasarkan kebutuhan Taiwan, merupakan komitmen kami sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Taiwan Relations Act dan Six Assurances," kata Royce, mengacu pada undang-undang dan pedoman informal yang mengarahkan hubungan AS dengan Taiwan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement