REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemerintah Cina bersedia menerapkan seluruh isi ketentuan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB yang menjatuhkan sanksi terhadap Korut. DK PBB telah mengeluarkan sebuah resolusi untuk memberlakukan sanksi ekonomi terbaru terhadap Korut pada Sabtu (5/8) lalu.
Dengan sanksi ini, pendapatan ekpor yang dimiliki negara terisolasi itu dapat berkurang hingga 3 miliar dolar AS.
"Karena hubungan ekonomi tradisional antara Cina dan Korut, kami akan membayar sebuah harga untuk menerapkan resolusi tersebut," ujar Menteri Luar Negeri Cina Wang Ti dalam pertemuan forum keamanan regional di Ibu Kota Manila, Filipina, Senin (7/8).
Dengan kebijakan itu, Beijing menunjukkan sikap menentang pengembangan program nuklir yang dilakukan Korut. Pernyataan ini kembali ditegaskan secara resmi oleh Kementerian Luar Negeri Cina pada Selasa (8/8).
Negeri Tirai Bambu telah berulang kali menekankan komitmen untuk memberlakukan resolusi PBB atas Korut. Meski kemungkinan hal ini semakin memberatkan negara sekutunya tersebut. Resolusi dari Dewan Keamanan PBB dirancang oleh AS, sebagai salah satu anggota tetap. Melalui resolusi itu, Korut tidak dapat melakukan ekspor sejumlah barang tambang di antaranya batu bara, besi, dan bijih besi.
Kemudian termasuk juga makanan laut tidak diperbolehkan untuk diekspor. Selain itu, jumlah pekerja dari negara yang dipimpin Kim Jong-un itu yang bekerja di luar negeri juga tidak dapat diperbanyak.
Terlepas dari sanksi ekonomi baru untuk Korut, Cina tetap menyerukan adanya perundingan kembali antara negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB dan Korut.
Dialog harus kembali dibuka untuk mencapai solusi yang sebenarnya guna mencapai perdamaian abadi, termasuk dengan Korea Selatan (Korsel) dan Jepang. "Ini adalah janji bahwa semua anggota Dewan Keamanan PBB harus mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah dengan Korut, khususnya adalah membuka kembali perundingan dan dialog," jelas Wang.
Selama ini, Korut mengatakan pengembangan program nuklir merupakan alat pertahanan utama. Namun, sejumlah negara di kawasan Semenanjung Korea khususnya Korsel dan Jepang juga merasa khawatir karena menjadi ancaman utama serangan rudal dan senjata berbahaya lainnya.