Rabu 11 Oct 2017 11:25 WIB

Akankah Hamas Serahkan Senjata demi Rekonsiliasi Palestina?

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Agus Yulianto
Mahmoud Abbas - Presiden Palestina. Senin(7/3).
Foto:
Anggota pasukan Brigade Al Qassam membagikan makanan untuk berbuka di jalanan Kota Gaza Palestina

Pada 2006, Hamas mendominasi pemilihan legislatif Palestina, dengan mendapatkan 44,5 persen suara dan mengamankan 74 kursi di Dewan Legislatif Palestina. Setelah itu, pertengkaran antara Fatah dan Hamas membuat keduanya enggan membentuk koalisi.

Abbas dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didominasi oleh Fatah, kemudian berusaha menggulingkan pemerintahan yang dipimpin Hamas.

Investigasi "Palestine Papers" oleh Aljazirah kemudian mengungkapkan bahwa MI6, badan intelijen Inggris, telah menyusun rencana untuk Otoritas Palestina agar menyingkirkan Hamas. Sementara itu, AS membantu melatih dan membentuk pasukan Pengawal Presiden, angkatan bersenjata yang setia kepada Abbas.

Pada 2007, ketegangan meningkat menjadi konfrontasi bersenjata di Gaza. Hamas berhasil mengusir Fatah dan mengambil alih wilayah pantai yang terkepung tersebut.

Di tahun yang sama, dengan bantuan Mesir, Israel memberlakukan blokade terhadap Gaza. Blokade ini mengatur arus orang, barang, obat-obatan, makanan, dan bantuan kemanusiaan ke dalam dan luar wilayah tersebut.

Sejak Desember 2008, Israel telah melakukan tiga serangan militer besar terhadap orang-orang Palestina di Jalur Gaza. Salah satu serangan yang dimulai pada Juli 2014 dan berlangsung selama 51 hari, telah menewaskan lebih dari 2.200 orang, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil Palestina.

Awal bulan ini, Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina (PCPSR) melakukan sebuah jajak pendapat yang menunjukkan, dua pertiga warga Palestina percaya Abbas harus mengundurkan diri. Sementara, separuh dari mereka yang disurvei menganggap Otoritas Palestina sebagai beban bagi rakyat Palestina.

Dana menjelaskan, sebagian besar legitimasi yang diperoleh Hamas di mata orang-orang Palestina berakar dari kekecewaan mereka terhadap Otoritas Palestina. Otoritas Palestina dianggap selalu gagal bernegoisasi dengan Israel.

"Hamas mendapatkan rasa hormat dari orang-orang Palestina karena aktivitas militannya melawan pendudukan Israel," kata Dana.

"Jika Hamas meletakkan senjatanya, tidak akan ada lagi gerakan pembebasan, dan karena itu Hamas akan kehilangan popularitas dan legitimasi yang menjadi inti kekuatannya," tambah dia.

Mukhaimer Abu Saada, seorang profesor ilmu politik di Universitas al-Azhar Gaza, memperkirakan kebanyakan orang Palestina di Gaza, termasuk mereka yang tidak mendukung Hamas, menentang pelucutan senjata kelompok tersebut.

"Mereka melihat apa yang terjadi pada orang-orang Palestina di Tepi Barat yang diduduki, tentara Israel melakukan penggerebekan setiap malam dan pemukim ekstremis menyerang warga sipil, dan mereka tidak menginginkan hal yang sama terjadi di sini," jelas Saada.

"Firasat saya adalah mayoritas orang Palestina di Gaza menentang pelucutan senjata Hamas, karena kita masih berada dalam pendudukan dan pengepungan. Gaza bisa jadi sasaran agresi Israel lagi kapanpun," ungkapnya.

Namun bagi Abbas dan Otoritas Palestina, membiarkan Hamas bertahan dengan senjatanya berarti membiarkan pertempuran kembali terjadi, yang menyebabkan Hamas mengambil alih Gaza, seperti pada 2007.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement