REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemerintah militer Thailand pada Selasa (31/10) waktu setempat menyatakan belum akan mencabut larangan aktivitas politik, meski pemilihan umum dijadwalkan tahun depan dan tekanan dari partai politik.
Larangan pertemuan partai politik telah dilakukan sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 2014. Ada seruan dari semua kelompok politik untuk mengakhiri larangan tersebut.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menyebutkan perpecahan politik yang terus-menerus dan rumit menjadi alasan mengapa larangan harus tetap ada. "Kami tidak akan mencabut larangan ini hari ini, tapi jangan frutasi," kata Prayuth usai rapat kabinet pada Selasa (31/10) waktu setempat.
Pada awal bulan ini Prayuth mengatakan Thailand akan mengadakan pemilihan umum pada November 2018. Kabar tersebut disambut oleh sebagian besar investor di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu.
Hanya ada sedikit perlawanan terhadap peraturan junta sejak 2014 karena pihak berwenang telah memenjarakan puluhan kritikus. Pemerintah telah mengatakan paartai-partai perlu menunggu keputusan kapan kehidupan politik akan dilanjutkan, sampai setelah pemakaman Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dikremasi pada pekan lalu.
Ketegangan memburuk di Thailand sejak 2006 ketika sebuah kudeta terhadap perdana menteri Thaksin Shinawatra. Sejak saat itu, negara tersebut telah menyaksikan pertarungan yangrusuh termasuk demonstrasi jalanan yang mematikan.
Seorang politikus dari partai besar Sunisa Lertpakawat marah karena keputusan untuk tidak mencabut larangan aktivitas politik pada Selasa (31/10) waktu setempat. "Saya ingin junta menunjukkan beberapa ketulusan tentang pemilihan tersebut dengan mencabut larangan itu," kata anggota Partau Puea Thai yang dipimpin Thaksin.