Senin 25 Mar 2019 01:39 WIB

Partai Pro-Militer Pimpin Perolehan Suara Pemilu Thailand

Partai Palang Pracharat memimpin dengan mendapatkan tujuh juta suara.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Israr Itah
Penghitungan suara Pemilu Thailand 2019 pada Ahad (24/3).
Foto: EPA-EFE/PONGMANAT TASIRI
Penghitungan suara Pemilu Thailand 2019 pada Ahad (24/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Thailand menggelar pemilihan umum (pemilu) pertama pada Ahad (24/3), sejak kudeta militer berlangsung pada 2014. Hasilnya, Komisi Pemilihan Umum Thailand mengumumkan partai pro-militer, Phalang Pracharat, memimpin sementara. 

Dengan sekitar 90 persen surat suara yang dihitung, Partai Palang Pracharat memimpin dengan mendapatkan tujuh juta suara, seperti dikutip dari Aljazeera, Senin (25/3). Sementara Pheu Thai, partai yang terkait dengan mantan perdana menteri dan taipan Thaksin Shinawatra, meraih 6,6 juta suara.

Baca Juga

Sedangkan Future Forward, partai yang baru didirikan yang berkampanye dengan janji perubahan dan reformasi militer, berada di urutan ketiga, dengan perolehan hampir 4,8 juta suara. Komisi Pemilihan mengatakan akan mengumumkan hasil akhir pada Senin (25/3) pukul 10 pagi. 

Pemungutan suara berlangsung di bawah konstitusi baru yang memberi militer pengaruh besar atas politik sipil negara itu dan menyulitkan pihak mana pun untuk memenangkan mayoritas di majelis rendah 500 kursi. Majelis tinggi ditunjuk oleh militer.

Jika hasil ini bertahan, Jenderal Prayuth Chan-ocha, yang berkuasa sejak perebutan kekuasaan pada Mei 2014, akan terus menjabat sebagai Perdana Manteri Thailand. Sebab, Phalang Pracha Rat sudah memutuskan Prayuth sebagai calon tunggal.

Tingkat partisipasi Pemilu Thailand mencapai 65,96 persen, di bawah ekspektasi. Sekitar 52 juta pemilih terdaftar untuk memilih, dengan tujuh juta dari mereka menjadi pemilih pemula.

Terlepas dari jumlah pemilih ini, aturan terkait suksesi kepemimpinan di Thailand saat ini dibuat untuk memperkuat partai pro-militer dan melemahkan Partai Pheu Thai yang masih basis masa kuat. Di antaranya tentang penentuan jumlah kursi di parlemen Thailand yang menggunakan sistem dua kamar.

"Dengan asumsi pemilihan itu adil, yang mungkin bisa diperdebatkan, ini adalah bagian terakhir dari rencana lima tahun untuk membuahkan hasil sebuah kudeta, konstitusi yang tidak demokratis dan pemilihan umum yang mendukung militer," David Streckfuss, seorang sejarawan, kepada Al Jazeera.

Sementara Partai Demokrat pimpinan mantan perdana menteri Abhisit Vejjajiva hanya memperoleh 2,98 juta suara dan berada di posisi keempat. Hasil ini membuat Abhisit langsung mengundurkan diri.

"Saya harus bertanggung jawab atas ini, Saya mundur dari kepemimpinan Partai Demokrat, kata Abhisit yang menjadi perdana menteri dari 2008 sampai 2011.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement